Jumat, 08 November 2013

Wayang Kancil


BAB I
PENDAHULUAN
Dimana pun kesenian merupakan salah satu perwujudan kebudayaan. Kesenian selalu mempunyai peranan tertentu bagi masyarakat yang menjadi ajangnya. Demikian pula di Indonesia, kesenian dapat ditinjau dalam konyeks kebudayaan maupun kemasyarakan. Dalam konteks kebudayaan, ternyata corak ragam kesenian yang ada di Indonesia terjadi karena adanya lapisan-lapisan kebudayaan yang bertumpuk dari jaman ke jaman. Selain itu juga karena adanya berbagai lingkungan budaya yang hiidup berdampinan dalam satu masa sekaranga ini. Dalam konteks kemasyarakan, ternyata beberapa jenis kesenian tertentu memiliki kelompok-kelompok pendukungnya sendiri. Dan kesenian juga memiliki fungsi yang berbeda dalm kelompok masyarakat yang berbeda. Demikian pula bahwa perubahan fungsi dan bentuk dari hasil-hasil seni disebabkan oleh dinamika masyarakat (Sedyawati,1982;3-4).

Dalam kaitan kesenian yang dilihat dari perspektif kebudayaan maupun kemasyarakatan tersebut, melalui sebah studi kasus mengenai transformasi cerita binatang yang disajikan dalam sebuah paper yang berjudul “Perjalanan Si Kancil di Dunia Pakeliran”, penulis ingin mencoba melihat lebih dekat liku-liku perjalanan
kesenian tradisional -dalam hal ini wayang kancil- di tengah-tengah masyarakat pemangkunya melalui sebuah pertunjukan wayang kancil yang digelar di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjosumantri UGM, tanggal 1 Maret 2008, jam 19.30-21.30, dengan lakon “Kancil Lena, yang didalangi oleh Ki Eddy Pursubatyanto (salah seorang staff pengajar jurusan Sastra Inggris FIB-UGM).

Seni pertunjukan tradisional itu mempunya nilai dan fungsi yang penting bagi kehidupan masyarakat pemangkunya. Hal tersebut berlaku bagi semua bentuk kesenian tradisional yang ada. Lalu dalam kaitannya dengan wayang kancil, satu hal yang menjadi pertanyaan adalah: bagaimanakah hakekat keberadaan wayang kancil tersebut di tengah-tengah kehidupan masyarakat pemangkunya; apakah nilai dan fungsi yang terkandung dalam kesenian wayang kancil tersebut.

BAB II
PEMBAHASAN
Cerita binatang (fabel) merupakansalah satu dari wujud sastra tradisional. Menurut Diana Mitchel (dalam Nurgiyantoro,2005;163) sastra tradisional merupakan bentuk ekspresi masyarakat pada masa lalu, yang umumnya disampaikan secara lisan. Sejalan dengan namanya, cerita binatang merupakan sebuah cerita yang menjadikan binatang sebagai tokohnya. Ia merupakan bentuk personofikasi binatang-binatang tersebut sehingga mereka bisa berpikir, bertingkah laku, berbicara, berperasaan dan lain-lain, sebagaimana manusia. Pada dasarnya fable tidak berbeda dengan bentik cerita lainnya –dalam arti cerita dengantokoh manusia- kecuali penggunaan binatang sebagai tokohnya, karena hal-hal yang menyangkut penokohan lengkap dengan
karakternya maupun persoalan hidup yang diungkapkannya tidak lepas dari manusia itu sendiri dengan kehidupannya. Artinya manusia dengan berbagai persoalannya tersebut diungkap lewat binatang. Jadi cerita inipun juga berupa kisah tentang manusia dan kemanusiaan yang ditujukan kepada manusia, akan tetapi melalui komunitas perbinatangan (Nurgiyantoro,2005;190-191).

Dilihat dari sifatnya fabel merupakan bentuk cerita yang universal, yang bisa ditemukan di berbagai masyarakat di dunia ini. Di Indonesia sendiri fable dapat ditemukan dalm berbagai versi, misalnya versi melayu: Hikayat Pelanduk Jenaka, versi Sunda: Sakadang Peucang, versi Jawa: Cerita Kancil, dan sebagainya. Dalam perkembangannya, fabel telah ditransformasikan kedalam berbagai bentuk, yang juga disajikan dalam berbagai media, misalnya: dalam bentuk buku cerita bergambar, film kartun, atau cerita bergambar yang dimuat di koran-koran, dsb. Kecuali itu semua fable juga telah ditransformasikan ke dalam sebuah bentuk kesenian tradisional, yang kemudian dikenal dengan nama “kesenian wayang kancil”, yang mana ia merupakan perpaduan fable itu sendiridengan sebuah kesenian tradisional yang sudah tidak asing lagi namanya: wayang kulit. Wayang kancil, jika dilihat dari sejarahnya memang belum bisa dibandingkan dengan laluhurnya, wayang purwa, yang sudah dianggap sebagai warisan budaya adiluhung, yang telah berhasil bertahan selama berabad-abad, serta yang sudah merasuk, mewarnai hati, jiwa, dan pikiran masyarakat pengampunya. Dalam tulisan “Selayang Pandang Pakeliran Wayang Kancil” disebutkan bahwa wayang kancil petama kali muncul tahun 1921 di kalangan kelompok kebatinan di kampung Secoyudan, Surakarta, yang diprakarsai oleh The Mo Liem (Bo Liem) dengan didukung oleh To Hien (sebagai penyungging dan penatah boneka wayangnya). Keduanya merupakan murid dari R. Panji Notoroto (R. Sastrowidjaja), seorang guru kebatinan sekaligus kepala daerah Ngijon [Godean] Yogyakarta. Dan menjadikan buku berjudul “Kancil Kridhamartana” sebagai pedoman cerita dalam pakeliran wayang kancil pada waktu itu (Pursubaryanto, 2005; 23-24). Dan kemudian pada tahun 1943 boneka-boneka wayang kancil disempurnakan oleh R.M. Sayid. Setelah mengalami masa-masa fluktuatif, akhirnya pada tahun 1980-an wayang kancil ini kembali muncul di Yogyakarta , yang diprakarsai oleh Ki Ledjar Subroto (Senawangi,1999;723)dan terus dilestarikan hingga saat ini.

Jika di atas tadi disebutkan bahwa cerita wayang kancil hanya berpedoman pada buku berjudul “Kancil Kridhamartana”, pada perkembangannya yang sekarang ini cerita wayang kancil tersebut bisa diadopsi dari berbagai sumber, sesuai dengan keinginan si dalang, ia bisa diambil dari fabel-fabel klasik ataupun modern dengan tidak keluar dari tujuan utama dari setiap fabel tersebut; sebagai salah satu bentuk dari sastra tradisional yang pada umumnya lebih dimaksudkan sebagai sarana untuk menyampaikan pesan moral (Nurgiyantoro,2005;165). Selain itu pada dasarnya kehadiran wayang kancil merupakan medium kontinuitas dari dongeng-dongeng binatang yang berasal baik dari Indonesia maupun dari luar negeri (Pursubaryanto,
2005; 198).

Dalam setiap pagelaran wayang kancil selain nilai-nilai moral dari cerita binatang tersebut kita juga bisa menemukan isu-isu umum yang coba diungkapkan oleh sang dalang melalui perjalanan cerita (plot) yang disampaikan. Hal ini bisa kita lihat pada pertunjukan wayang kancil pada tanggal 1 Maret tersebut. Pada pagelaran tersebut lakon yang dipilih oleh Ki Eddy Pursubaryanto –selanjutnya disebut Ki Eddy- adalah “Kancil Lena”. Lakon tersebut diambil dari salah satu cerita binatang yang berasal dari Aceh. Si Loreng, seekor harimau yang menjadi pemimpin di daerahnya ingin membalas dendam kepada musuhnya: Si Kancil. Ketika berhasil menemukannya ia kemudian memakannya. Tapi anehnya, ketika berada dalam perut Si Loreng, Si Kancil tidak mati, ia masih tetap hidup dengan menghirup udara dari wadigang (lubang anus) Si Loreng. Dalam perut Si Loreng, Si Kancil menemukan barang-barang yang tidak selayaknya berada dalam perut; “celana dalam dan BH”. Selain itu Si Kancil juga menemukan hati Si Loreng, dari situ ia bisa mengetahui sagala yang diinginkan dan dilakukan Si Loreng. Kemudian Si Kancil pun mendapat ide untuk menggangu Si Loreng, setiap kali Si Loreng hendak memangsa binatang buruannya, Si Kancil selalu berteriak dan menyuruh si mangsa untuk menjauh, sehingga Si Loreng pun kehilangan mangsanya. Hal itu berlangsung terus-menerus dan akhirnya Si Loreng pun mati. Dari sini kita sudah bisa melihat isu-isu yang coba diungkap oleh Ki Eddy; mengenai dampak dari pola hidup yang tidak sehat, khususnya mengenai segala sesuatu yang kita konsumsi setiap hari. Sehat atau tidaknya tubuh kita sangat dipengaruhi oleh sehat tidaknya makanan yang kita konsumsi sehari-hari. Bila yang kita konsumsi tersebut tidak sehat (mengandung
kuman dan bakteri) maka sebagaimana Si Kancil, kuman dan bakteri tersebut tidak akan mati dalam perut kita, mereka akan terus hidup dan menggerogoti kesehatan kita yang pada akhirnya akan membunuh kita. Selain itu Ki Eddy juga mengungkapkan isu mengenai tidak sehatnya gaya hidup seorang perokok, sama halnya dengan gaya hidup seorang yang suka makan makanan yang tidak sehat. Setelah itu, cerita tersebut dilanjutkan dengan keluarnya Si Kancil dari perut Si Loreng. Dan kemudian ia pun melakukan perjalanan meninggalkan bangkai Si Loreng. Setelah berbulan-bulan lamanya, ia pun kembali ke tempat semula. Dan
ketika ia melihat bangkai seekor harimau ingatannya pun kembali pada saat di mana Si Loreng meregang nyawanya, sehingga ia pun menjadi amat berbangga diri karena telah berhasil membunuh makhluk buas dan besar yang menjadi pemimpin di daerahnya. Ia pun kemudian melompat-lompat kegirangan di atas tulang-belulang tersebut, akan tetapi karena terlalu terlena dengan kebanggaannya ia kemudian terpeleset, jatuh terperangkap dalam tulang-tulang rusuk harimau tersebut dan tidak bisa melepaskan diri. Karena berhari-hari tidak ada yang menolong dan tidak bisa makan, Si Kancil pun akhirnya mati.

Setelah pertunjukan tersebut selesai, Ki Eddy kemudian menyampaikan pelajaran moral yang bisa diambil dari keseluruhan cerita tersebut; “siapa yang berbuat laknat akan terken laknatnya sendiri”, di mana Si Kancil yang telah berhasil membunuh Si Loreng, pada akhirnya harus menebus perbuatannya tersebut dengan harga yang sangat mahal. Sebagaimana Si Loreng yang mati karena kelaparan, kelaparan itu pulalah yang akhirnya merenggut nyawa Si Kancil. Secara keseluruhan pertunjukan tersebut telah berhasil menjalankan misinya:mengajarkannilai-nilai moral yang terkandung dalam cerita kancil tersebut. Akan tetapi dalam beberapa hal, penulis melihat beberapa unsure dari kesenian wayang kancil tersebut telah kehilangan fungsinya, ynag sebenarnya sangat penting bagi kelangsungan hidup kesenian tersebut. Yang pertama adalah unsur kebahasaan dalam wayang kancil tersebut. Bahasa merupakan unsur yang sangat penting bagi kesenian ini, karena bahasa merupakan salah satu unsure yang digunakan sebagai media untuk mengkomunikasikan segala yang terkandung dalam cerita yang disampaikan. Akan tetapi apalah artinya bahasa, ketika ia tidak mampu mangkomunikasikan tujuan dari wayang kancil tersebut, dikarenakan tidak adanya kesesuaian antara bahasa yang digunakan sang dalang dalam pertunjukannya dengan dengan bahasa yang digunakan anak-anak sebagai objek utama dari kesenian wayang kancil- sehari-hari. Karena faktanya para orang tua –khususnya yang hidup di daerah perkotaan- lebih memilih untuk menanamkan kebiasaan berbahasa Indonesia terhadap anak-anaknya sejak dini. Sedangakan wayangakancil itu sendiri seringkali menggunakan bahasa daerah -khususnya bahasa Jawa- sebagai pengantarnya, apa lagi ketika wayang kancil tersebut digelar sebagai pembuka acara pagelaran wayang purwa, sebagaimana yang diadakan di Pusat Kebudayaan UGM tersebut. Akan tetapi, masalah kebahasaan ini sebenarnya tidak begitu sulit untuk mencari permecahannya , mengingan sifat dari pertunjukan wayang kancil itu sendiriyang sangat fleksibel; di mana sang dalang bias memilih bahasa yang sekiranya sesuai dengan bahasa yang digunakan penontonnya.

Kecuali unsur kebahasaan tersebut, ada juga unsur lain yang mungkin akan sangat sulit untuk mencari solusinya: unsur hiburan dari wayang kancil itu sendiri. Di era globalisasi seperti sekarang ini, di mana media-media elektronik terus berlomba-lomba untuk menciptakan inovasi-inovasi baru dalam dunia hiburan –yang dari waktu ke waktu penyajiannya menjadi semakin menarik-, merupakan sebuah tantangan yang sangat berat bagi kesenian tradisional seperti wayang kanciluntuk selalu konsisten turut serta bersaing dengan inovasi-inovasi baru tersebut. Hal ini sangat jelas terlihat dari mulai menghilangnya fungsi dari unsure hiburan dari wayang kancil itu sendiri, yang sudah tidak mampu lagi menarik antusiasme anak-anak untuk menyaksikan pertunjukannya. Sudah merupakan sifat dasar manusia untuk memilih sesuatu yang lebih mudah didapat dan lebih bagus. Begitu pula halnya dengan anak-anak. Mereka akan lebih memilih untuk menonton bentuk-bentuk hiburan yang mereka senangi di rumah melalui media elektronik –seperti: TV, VCD, atau DVD- dari pada harus repot-repot keluar rumah dan pergi ke suatu tempat hanya untk menonton kesenian tradisionhal yang menurut mereka tidak lebih menarik dibandingkan dengan bentuk-bentuk hiburan yang mereka tonton di rumah tersebut. Situasi seperti ini sangatlah tidak menguntungkan bagi wayang kancil itu sendiri. Sebagai sebuah warisan budaya, ia sedang berada diambang kepunahan, karena pada prinsipnya warisan budaya dapatbertahan lama karena terdapat fungsi yang dikandung unsure-unsurnya. Secara kesatuan, warisan budaya mempunyai fungsi yang terkait; suatu system di mana berbagai unsure didalamnya saling berfungsi satu sama lain. Karenanya budaya dipandang sebagai sebuah organisme yang unsure-unsurnya tidak hanya saling berhubungan tapi juga memberikan andil bagi pemeliharaan stabilitas dan kelestarian hidup organisme tersebut. Jadi bias dikatakan setiap system budaya memiliki syarat-syarat tertentu untuk memungkinkan eksistensinya dan bila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi maka sistemtersebut akan mengalami disintegrasi dan “mati” (dalam Tuloli,2003;9-10), dan bukan tidak mungkin hal tersebut akan terjadi pada wayang kancil, bila ia tidak bias memenuhi syarat-syarat system budaya yang ada pada dirinya sebagai sebuah organisme, di mana fungsi dari unsure hiburan wayang kancil
itu sekarang sudah mulai terkikis oleh globalisasi.

BAB III
KESIMPULAN
Sebagaimana disebutkan di atas, wayang kancil merupakan salah satu bentuk transfomasi dari cerita-cerita binatang, jadi hakekat keberadaannya juga tidak keluar dari hakekat cerita binatang itu sendiri, yang mana keduanya telah dijadikan oleh masyarakat pemangkunya sebagai sebuah media untuk berkomunikasi dan berekspresi dalam rangka manifestasi eksistensi diri dalam kelompok sosialnya. Sedangkan berbicara mengenai fungsi dari wayang kancil itu sendiri juga tidak bias lepas dari fungsi cerita-cerita binatang tersebut. Selain sebagai sarana penyampai pesan moral, wayang kancil juga bias di jadikan sebagai media alternative untuk memberikan hiburan yang mendidik bagi anak-anak. Selain itu sebagai salah satu bentuk dari kesenian tradisional wayang kancil juga memiliki fungsi internal -dalam artian, fungsi tang menunjukkan keberadaanya sebagai kesenian tradisional- bahwa wayang kancil juga bias dijadikan sebagai media alternative untuk memperkenalkan kepada generasi muda kesenian-kesenian tradisional, khususnya kesenian wayang, dan menarik minat mereka untuk turut serta dalam pelestarian kesenian tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Sastra Anak, Pengantar Pemahaman Dunia
Anak. Yogyakarta; Gadjah Mada University Press.
Pursubaryanto, Eddy. 2005.Wayang Kancil di Indonesia: Bentuk, Fungsi,
dan Dinamika Kehidupannya (Sebuah Tesis untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan
Mencapai Derajat S-2, Program Studi Pengkajian Seni Pertujukan dan Seni Rupa,
Jurusan Ilmu-ilmu Humaniora, Program Pasca Sarjana, UGM, Yogyakarta).
Sedyawati, Edy dan Sapardi Djoko Damono. 1982. Beberapa Masalah
Perkembangan Kesenian Indonesia Dewasa ini. Jakarta; Fakultas Sastra Universitas
Indonesia.
Tim Penulis Senawangi (Sekertariat Nasional Pewayangan Indonesia).
1999. Ensiklopedi Wayang Indonesia. Jakarta; PT Sakakindo Printama.
Tuloli, Nani. Dkk. Dialog Budaya, Wahana Pelestarian dan Pengembangan
Kebudayaan Bangsa. Jakarta: Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata
Deputi Pelestarian dan Pengembangan Budaya, Direktorat Tradisi dan Kepercayaan,
Proyek Pelestarian dan Pengembangan Tradisi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar