Minggu, 10 November 2013

Grebeg Maulud dan Sekaten Yogyakarta


PENDAHULUAN

PENGANTAR

Yogyakarta, secara administrasi berstatus sebagi propinsi DIY. (Daerah Istimewa Yogyakarta). Luas wilayahnya sekitar 3.185,80 km2; terdiri atas empat daerah Kabupaten dan satu Kotamadya: Kabupaten Kulonprogo, Kabupaten Gunung Kidul, Kabupaten Sleman, dan Kotamadya Yogyakarta (Murniatmo, 1993/1995; 11).

Yogyakarta dikenal sebagai daerah budaya Jawa -karena penduduknya didominasi oleh suku Jawa- dan juga sebagai daerah pariwisata. Dalam bidang kepariwisataan, Yogyakarta dipilih sebagai daerah tujuan wisata kedua setelah Bali, dimana hal tersebut didukung oleh oleh komponen-komponen yang merupakan potensi pariwisata. Menurut Robert W.Mc. Intash ada lima kategori pokok komponen pariwisata:

1. Natural resources :komponen yang berhubungan dengan keadaan alam.
2. Infrastruktur :segala jenis bangunan yang ada di atas permukaan maupun di bawah tanah.
3. Transportasi :komponen yang berhubungan dengan arus lalu-lintas manusia dan barang.
4. Superstruktur :segala fasilitas di atas tanah yang mendukung pariwisata.
5. Hospitality :komponen dari segi pembawaan atas sosial human

yang berakar pada culture resources (dalam Murniatmo, 1993/1994; 14). Dari konsep-konsep di atas, secara garis besar Yogyakarta dianggap mempunyai potensi fisik dan tata ruang yang memadai sebagai faktor pendukung terhadap kepariwisataaan. Hal tersebut dapat dilihat dari objek-objek wisata yang ada, baik objek wisata alam: Kaliurang, pantai Parang Tritis, dan sebagainya, maupun objek wisata budaya: Sekaten, upacara Garebeg Maulud, dan sebagainya.
Sedangkan prasarana penunjang pariwisata Yogyakarta bisa dilihat dari tersedianya fasilitas transportasi baik udara maupun darat, dan juga tersedianya hotel-hotel berbintang, losmen, rumah sakit, tempat makan dan minum, serta pusat-pusat souvenir.
Dalam lingkup pembahasan kepariwisataan Yogyakarta ini, melalui sebuah observasi yang bertema “Perayaan Sekaten di Yogyakarta dan Pariwisata”, dengan menjadikan upacara Garebeg Maulud yang digelar di Keraton Yogyakarta, tanggal 20 Maret 2008, jam 06.30 – 11.30 sebagai studi kasus, penulis ingin memahami lebih dalam mengenai keterkaitan sebuah tradisi budaya dengan dunia pariwisata, yang akan penulis tuangkan dalam sebuah paper yang berjudul “Sekati dan Gununga; Produk Wisata Yogyakarta” ini.

PERMASALAHAN

Budaya atau kebudayaan sangat erat sekali hubungannya dengan pariwisata. Dimana keduanya memiliki hubungan timbal balik; di satu sisi, budaya merupakan objek wisata yang menarik bagi wisatawan, di sisi lain, pariwisata merupakan sarana pengenalan budaya bangsa (bagi wisatawan asing) atau budaya daerah (bagi wisatawan domestik). Dan dalam tradisi Sekaten, kedua hal tersebut sangat jelas sekali terlihat. Di mana sebagai sebuah sisitem budaya, Sekaten telah mampu merepresentasikan sisitem-sistem yang berlaku dalam kehidupan masyarakatnya pendukungnya. Akan tetapi yang menjadi pertanyaan adalah bagaimanakah sebenarnya makna Sekaten itu sendiri bagi masyarakat Yogyakarta, selaku pemangku tradisi Sekaten tersebut dan apakah kompensasi yang dapat diperoleh dalam usaha pelestariannya.

PEMBAHASAN

A. OBJEK-OBJEK WISATA

Budaya merupakan sikap, kebiasaan, tradisi, yang hidup dan terpelihara di tengah-tengah masyarakat pendukungnya dan tercermin dalam tingkah laku masyarakat pendukungnya. Hal ini sekaligus mencerminkan nilai-nilai yang dianut dan dipelihara oleh masyarakat yang bersangkutan (Zamora, 2003; 150).
Akan tetapi mengingat bahwa kehidupan masyarakat tidaklah bersifat tetap, melainkan terus maju sejalan dengan perkembangan zaman, maka tidak dapat dihindarkan adanya budaya daerah yang mungkin lenyap dari lingkungan masyarakatnya. Tapi di lain pihak, ada juga yang terpelihara dalam wujud yang sama atau dengan bentuk lain tapi dengan kandungan yang sama. Adapun kemungkinan-kemungkinan tersebut adalah disebabkan oleh adanya intervensi budaya lain yang lebih kuat dan lebih banyak pendukungnya terhadap budaya yang lemah dan sedikit pendukungnya. Atas dasar kekhawatiran akan musnahnya budaya daerah akibat intervensi budaya di atas, maka upaya pelestarian budaya daerah secara apa adanya masih gigih dijalankan.pelestarian budaya daerah di sini dapat diartikan sebagai upaya untuk mempertahankan “keberadaan” suatu unsur atau sistem budaya tertentu dalam masyarakat, baik secara aktif –dalam artian, unsur budaya tersebut masih kita temui hidup dalam masyarakatdan masih digunakan dalam kehidupan sehari-hari-, maupun secara pasif –dalam artian, unsur tersebut masih bisa kita temui dalam suatu masyarakat namun ia tidak lagi hidup dalam masyarakat tersebut-, yang mana hal ini bisa berwujud dalam bentuk penyimpanan berbagai macam benda budaya di museum atau peninggalan sejarah seperti: benteng, masjid, candi,dan lain-lain (Zamora, 2003; 151). Akan tetapi disamping pelestarian, perlu juga diadakan pengembangan terhadap suatu unsur budaya, baik berupa tarian, ritual keagamaan, upacara adat perkawinan, dan sebagainya, agar bisa mempunyai daya tarik dan mempunyai nilai jual. Selain itu, upaya tersebut tidak harus ditujukan pada unsur budaya saja, tapi juga pada masyarakat pendukungnya.
Pembangunan dan pembinaan terhadap warisan budaya harus mampu mengembangkan cipta,rasa, dan karsa dalam rangka pelestarian nilai-nilai budaya serta kesetia kawanan sebagai identitas diri bagi masyarakat yang bersangkutan. Berdasarkan UUD ’45, pasal 32, pemerintah daerah berkewajiban untuk memajukan/melestarikan kebudayaan yang ada di daerahnya masing-masing. Hal ini diperkuat dengan diberlakukannya UU No. 2, tahun 1999, tentang Pemerintah Daerah, dan PP No. 25, tahun 2000, tentang kewenangan Pemerintah dan kewenangan Propinsi serta kewenangan Kabupaten/Kota sebagai daerah otonom (Zamora, 2003; 152), yang mana, hal tersebut memberikan keleluasaan kepada Daerah untuk mengatur dan menata daerahnya masing-masing, dan tentu saja kewenangan untuk melestarikan serta memanfaatkan kebudayaan yang ada di daerahnya masing-masing.
Hal ini disadari betul oleh pemerintah daerah Yogyakarta, yang melihat begitu besarnya potensi, baik alam maupun budaya yang ada di daerahnya, yang bisa dikembangkan sebagai objek wisata dan menjadi aset penting dalam upaya pemberdayaan masyarakatnya. Karena bisa dikatakan kebudayaan bangsa maupun daerah merupakan salah satu bentuk kekayaan bangsa. Jika dimanfaatkan dengan tepat, ia akan menjadi modal penting dalam pemasukan devisa negara, yang pada akhirnya akan berimbas pada proses pembangunan daerah tersebut. Sebagaimana disebutkan di atas, objek wisata yang ada di Yogyakarta tidak hanya meliputi objek wisata alam saja. Ada banyak sekali objek wisata yang bisa ditemui di Yogyakarta. Itulah sebabnya kenapa Yogyakarta dikenal sebagai “kota budaya”. Dalam hal ini objek wisata tersebut dapat diklasifikasikan dalam beberapa kelompok:
  • Bangunan-bangunan bersejarah; bangunan-bangunan yang memiliki nilai-nilai kesejarahan: Benteng Vredeburg, candi Prambanan, Keraton, dan sebagainya.
  • Kesenian rakyat; jenis-jenis kesenian rakyat yang hingga kini masih dikenal oleh masyarakat Yogyakarta: Ketoprak, Jathilan, Tayub, dan sebagainya.
  • Festifal kesenian; Festifal yang diadakan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan DIY setiap tahun: festifal Sendratari.
  • Upacara daur hidup; upacara atau selamatan yang dilakukan masyarakat Yogyakarta, yang menunjukkan identitas dirinya sebagai masyarakat suku Jawa: upacara Tedhak Siten, upacara Ruawatan, upacara perkawinan atau Panggih, dan sebagainya.
  • Acara tradisional; acara tradisional yang diadakan setahun sekali: Sekaten, Garebeg Maulud (Murniatmo, 1993/1994; 36-46), yang akan dibicarakan lebih lanjut.
B. SEKATEN DAN GAREBEG MAULUD

Berbicara mengenai Sekaten tidak bisa lepas dari berbicara mengenai Garebeg Maulud, begitu juga sebaliknya. Karena pada dasarnya, keduanya berada dalam satu kesatuan rangkaian upacara adat. Sekaten merupakan sebuah acara yang dipersiapkan untuk menyambut Garebeg Maulud. Ia diadakan tujuh hari menjelang Garebeg Maulud (tanggal 5-11 bulan Maulud, menurut penanggalan Jawa). Dan Garebeg Maulud sendiri merupakan acara puncak sekaligus penutup dari serangkaian acara Sekaten tersebut.

Sekaten, menurut sejarahnya merupakan salah satu media penyebaran Islam yang digalakkan oleh “Wali Songo” di masa Kerajaan Demak berkuasa. Meskipun Kerajaan Demak merupakan kerajaan Islam, akan tetapi kaum muslim pada waktu itu masih tergolong kaum minoritas. Mayoritas masyarakat pada waktu itu masih memeluk agama dan kepercayaan leluhur mereka (Hindu-Budha). Para Wali berpendapat, untuk menyebarkan Islam, tidak bisa memakai kekerasan atau perang, oleh karena itu mereka menggunakan pendekatan adat istiadat dan kesenian dalam penyebarannya. Salah seorang dari mereka “Sunan Kalijaga” melihat bahwa masyarakat Jawa pada waktu itu sangat menggemari pertunjukan-pertunjukan tradisional, seperti gamelan, wayang kulit, dan lain-lain. Oleh karenanya beliau meminta “Sunan Giri” -yang ahli dalam membuat gamelan- untuk membuat seperangkat gamelan yang kemudian dimainkan di halaman Masjid Agung Demak. Hal ini bertujuan untuk menarik perhatian masyarakat, agar mau datang ke Masjid Agung dan mendengarkan dakwah para Wali. Dan setelah mendengarkan dakwah tersebut, mereka yang ingin masuk Islam kemudian dituntun untuk mengucapkan dua kalimat syahadat –dua kalimat yang harus diucapkan seseorang ketika ingin masuk Islam-. Dari situlah awal mula penamaan “Sekaten” pada acara ini. Nama Sekaten berasal dari kata Syahadatain (bahasa Arab) yang artinya dua kalimat Syahadat. Setelah melihat perkembangan yang ada, kesenian ini kemudian dijadikan aganda tahunan Kerajaan Demak, yang diadakan tujuh hari menjelang hari lahir Nabi Muhammad -yang kemudian diperingati dengan mengadakan acara Garebeg Maulud-. Akan tetapi setelah Kerajaan Demak runtuh, tradisi ini kemudian diwarisi oleh Keraton Yogyakarta dan Surakarta, yang merupakan pewaris Kerajaan Mataram Islam. Dan tetap dilestarikan hingga saat ini.

Garebeg Maulud, menurut sejarahnya merupakan media kontinuitas dari tradisi raja-raja Jawa sebelum Kerajaan Demak berkuasa. Di mana mereka selalu mengadakan upacara-upacara pemberian sesaji kepada para leluhur mereka pada hari-hari tertentu atau bulan-bulan tertentu. Kemudian setelah raja Demak yang pertama berkuasa –Raden Patah-, beliau menghapuskan semua kebisaaan raja-raja Jawa yang bertentangan dengan ajaran (syariat) Islam tersebut. Akan tetapi, hal tersebut justru menyebabkan rakyatnya yang masih berpegang teguh dengan tradisi lama menjadi gelisah. Sehingga banyak terjadi kekacauan di mana-mana. Atas dasar tersebut, para Wali kemudian memberikan inisiatif kepada Raja untuk menghidupkan kembali tradisi-tradisi lama tersebut. Tapi dengan memasukkan nilai-nilai Islami di dalamnya menggantikan nialai-nilai lama yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, misalnya: pembacaan mantra-mantra diganti dengan pembacaan doa-doa Islami atau penentuan hari-hari penyelenggaraan upacara adat; dari hari-hari yang dianggap sakral oleh masyarakat pada waktu itu menjadi hari-hari besar Islam. Dari sinilah awal mula munculnya tradisi Garebeg Maulud, yang mana ia merupakan hasil modifikasi tradisi tersebut. Setelah Kerajaan Demak runtuh, sebagaimana yang terjadi pada tradisi Sekaten, tradisi ini pun kemudian diwarisi oleh Keraton Yogyakarta dan Surakarta, dan juga masih dilestarikan hingga saat ini.

Tujuan utama dari Garebeg Maulud itu sendiri adalah untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad. Itulah kenapa tradisi ini bernama Garebeg Maulud. Kata “Maulud” berasal dari bahasa Arab yang artinya “kelahiran” –dalam hal ini adalah kelahiran Nabi Muhammad (tanggal 12 Rabi’ul Awal, kalenderArab, 12 Maulud, kalender Jawa). Sedangkan kata Garebeg berasal dari bahasa Jawa yang artinya “mengerumuni atau mengelilingi”. Karena pada saat tersebut, Sultan disertai seluruh keluarganya hadir di hadapan bribu-ribu masyarakatnya, untuk bersama-sama memperingati hari lahir Nabi Muhammad tersebut (semua informasi mengenai Garebeg Maulud dan Sekaten tersebut berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu abdi dhalem: Bapak Kiyoso Kanowo, tanggal 16 Maret 2008, jam 10.00, di keraton Yogyakarta).

C. NILAI DAN MAKNA

Sebuah tradisi atau kesenian tradisional itu mempunyai peranan atau fungsi yang sangat penting bagi masyarakat pendukungnya; dilihat dari fungsi sosialnya, sebuah tradisi atau kesenian tradisional dirasa mampu untuk membangun dan memelihara solidaritas kelompok (Sujarno, 2003; 1). Hal tersebut jelas sekali terlihat dalam penyelenggaraan kedua tradisi di atas, khususnya pada tradisi Garebeg Maulud. Di mana ribuan masyarakat Yogyakarta yang tersebar di empat Kabupaten dan satu Kotamadya berbondong-bondong hadir di tempat yang sama untuk bersama-sama mengikuti hajatan tahunan yang diselenggarakan Raja yang mereka hormati dan mereka agung-agungkan.

Kedua hajatan tersebut, jika dicermati, miliki nilai sekaligus makna yang berbeda bagi setiap komponen pendukungnya. Bagi Sultan sendiri, yang merupakan raja bagi masyarakat Yogyakarta, hajatan Garebeg Maulud merupakan momentum di mana beliau mengungkapkan rasa syukurya atas segala karunia Tuhan yang telah diberikan kepadanya dan rakyatnya. Yang disimbolkan dalam bentuk penyajian Gunungan-gunungan (Gunugan Lanang, Wadhon, Darat, Pawuhan, Gepak serta Gunungan Bromo, yang hanya disajikan pada saat Garebeg Maulud tahun Dal) yang kemudian beliau bagikan kepada seluruh masyarakat yang menghadiri hajatan tersebut (sebenarnya diperebutkan) sebagai wujud kemurahan hati seorang raja untuk berbagi dengan rakyatnya. Atau dalam tradisi Sekaten hal ini dilambangkan dengan upacara Nyebar Udhik-udhik. Dimana pada momen ini Sultan menyebarkan kepingan-kepinan uang logam kepada para abdi dhalem yang sedang meminkan Gamelan Sekati. Gamelan pusaka yang hanya dibunyikan pada saat Sekaten yang terdiri dari dua set perangkat gamelan: Kiai Gunturmadu dan Kiai Nogowilogo.

Sedangkan bagi masyarakat Yogyakarta sendiri. kedua tradisi diatas merupakan sebuah momentum di mana mereka bisa mendapatkan berkah dari seorang Raja yang selalu mereka agungkan. Mereka menganggap segala yang mereka peroleh ketika memperebutkan gunungan-gunungan yang disajikanpada saat Garebeg Maulud atau kepingan-kepingan uang yang disebarkan dalam upacara Udhik-udhik bisa digunakan sebagai semacam penolak bala atau penarik rizki (semacam azimat). Sebagaimana wawancara kami dengan Ibu Seno, salah seorang pengunjung acara Garebeg Maulud tanggal 20 Maret 2008 tersebut. “Angsal nôpô mawôn niku mangké terus dibungkus kaliyan kaén putéh tèrus digantung wôntèn lawang ngajèng, utôwô digantung wôntèn pundhi mawôn wônten jèroné omah, supadôs sagèt nolak bala’ utôwô narék rèjèki”, yang kurang lebih artinya: “apapun yang didapat –dari gunungan tersebut- kemudian dibungkus dengan kain putih, lalu digantungkan di pintu depan rumah, agar bisa menolak bala atau menarik rizki”.

Sungguh ironis memang, di tengah-tengah proses modernisasi kota Yogyakarta, yang sedang dilanda arus globalisasi, masih ada sekelompok masyarakat yang tetap memelihara kepercayaan terhadap hal-hal mistis seperti di atas. Jika direnungkan lebih dalam, hal tersebut mungkin disebabkan karena generasi-generasi yang jauh sebelum mereka telah mewariskan nilai-nilai tersebut secara turun-temurun, yang telah begitu dalam memasuki hati, pikiran dan jiwa mereka. Dimana sejak lahir, mereka telah hidup di tengah-tengah masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai tersebut.

Terlepas dari itu semua, mereka tetaplah merupakan unsur penting dalam tradisi Sekaten dan Garebeg Maulud. Tanpa mereka kedua tradisi ini akan kehilangan salah satu pendukung utamanya, yang bisa jadi, hal itu akan menyebabkan keduanya mengalami disintegrasi dan mati. Oleh karenanya, sebagaimana disebutkan di atas, usaha pelestarian dan pengembangan terhadap warisan budaya ini sangatlah perlu digalakkan. Sebagai wujud apresiasi terhadap warisan budaya lokal yang bisa menjadi ciri pengenal bagi masyarakat pendukungnya.

PENUTUP

Sekaten adalah sebuah tradisi masyarakat, yang tentunya memiliki makna khusus bagi masyarakat di mana tradisi ini hidup dan berkembang. Dan makna-makna tersebut bisa jadi bermacam-macam tergantung bagaiman masyarakat tersebut memaknainya. Akan tetapi yang menjadi poin utama dari tradisi ini adalah kemampuannya dalam membangun dan memelihara solidaritas kelmpok serta menumbuhkan kesetiakawanan bagi setiap komponennya sebagai ciri khas kelompok. Bisa dikatakan, karena nilainya yang begitu besar itulah, yang kemudian menarik hati para wisatawan untuk hanya sekedar melihat atau bahkan mempelajari kedua tradisi tersebut. Yang pada akhirnya menjadikan keduanya sebagai salah satu objek pariwisata unggulan di Yogyakarta. Dan memberikan pemasukan devisa yang cukup besar bagi Negara, khususnya bagi Yogyakarta sendiri. Yang mana imbasnya adalah semakin majunya pembangunan di Yogyakarta dan semakin nyatanya usaha pemberdayaan masyarakatnya. Pemberdayaan dalam arti meningkatnya mutu hidup dan taraf hidup bagi masyarakat tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Murniatmo, Gatut. Dkk. 1993/1994. Dampak Pengembangan Pariwisata terhadap Kehidupan Sosial Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta. [Yogyakarta];
Departamen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Penelitian, Pengkajian dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya.
Sujarno. Dkk. 2003. Seni Pertunjukan Tradisional: Nilai, Fungsi dan Tantangannya. Yogyakarta; Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata
Tololi, Nani. Dkk. 2003. Dialog Budaya, Wahana Pelestarian dan Pengembangan Kebudayaan Bangsa. Jakarta; Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata, Deputi Pelestarian dan Pengembangan Budaya, Direktorat Tradisi dan Kepercayaan, Proyek Pelestarian dan Pengembangan Tradisi dan Kepercayaan.
Zamora, Alcala. Dkk. 2003. Dialog Budaya, Wahana Pelestarian dan
Pengembangan Kebudayaan Bangsa. Jakarta; Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata, Deputi Pelestarian dan Pengembangan Budaya, Direktorat Tradisi dan Kepercayaan, Proyek Pelestarian dan Pengembangan Tradisi dan Kepercayaan.

DAFTAR NARASUMBER
1.

  • NAMA : Bpk. Kiyoso Kanowo
  • PEKERJAAN : Abdi Dhalem
  • USIA : 37 tahun
  • ALAMAT : Jl. I Burosumo, No. 45, Yogyakarta.
  • PENDIDIKAN : SMA
  • KETERANGAN : salah satu abdi dhalem di Keraton Yogyakarta.

2.

  • NAMA : Ibu Seno
  • PEKERJAAN : Ibu Rumah tangga
  • USIA : 60 tahun
  • ALAMAT : Condong catur, Sleman, Yogyakarta.
  • PENDIDIKAN : ---
  • KETERANGAN : Salah Satu Pengunjung Acara Garebeg Maulud, tanggal 20 Maret 2008, di Keraton Yogyakarta.



Jumat, 08 November 2013

Wayang Kancil


BAB I
PENDAHULUAN
Dimana pun kesenian merupakan salah satu perwujudan kebudayaan. Kesenian selalu mempunyai peranan tertentu bagi masyarakat yang menjadi ajangnya. Demikian pula di Indonesia, kesenian dapat ditinjau dalam konyeks kebudayaan maupun kemasyarakan. Dalam konteks kebudayaan, ternyata corak ragam kesenian yang ada di Indonesia terjadi karena adanya lapisan-lapisan kebudayaan yang bertumpuk dari jaman ke jaman. Selain itu juga karena adanya berbagai lingkungan budaya yang hiidup berdampinan dalam satu masa sekaranga ini. Dalam konteks kemasyarakan, ternyata beberapa jenis kesenian tertentu memiliki kelompok-kelompok pendukungnya sendiri. Dan kesenian juga memiliki fungsi yang berbeda dalm kelompok masyarakat yang berbeda. Demikian pula bahwa perubahan fungsi dan bentuk dari hasil-hasil seni disebabkan oleh dinamika masyarakat (Sedyawati,1982;3-4).

Dalam kaitan kesenian yang dilihat dari perspektif kebudayaan maupun kemasyarakatan tersebut, melalui sebah studi kasus mengenai transformasi cerita binatang yang disajikan dalam sebuah paper yang berjudul “Perjalanan Si Kancil di Dunia Pakeliran”, penulis ingin mencoba melihat lebih dekat liku-liku perjalanan
kesenian tradisional -dalam hal ini wayang kancil- di tengah-tengah masyarakat pemangkunya melalui sebuah pertunjukan wayang kancil yang digelar di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjosumantri UGM, tanggal 1 Maret 2008, jam 19.30-21.30, dengan lakon “Kancil Lena, yang didalangi oleh Ki Eddy Pursubatyanto (salah seorang staff pengajar jurusan Sastra Inggris FIB-UGM).

Seni pertunjukan tradisional itu mempunya nilai dan fungsi yang penting bagi kehidupan masyarakat pemangkunya. Hal tersebut berlaku bagi semua bentuk kesenian tradisional yang ada. Lalu dalam kaitannya dengan wayang kancil, satu hal yang menjadi pertanyaan adalah: bagaimanakah hakekat keberadaan wayang kancil tersebut di tengah-tengah kehidupan masyarakat pemangkunya; apakah nilai dan fungsi yang terkandung dalam kesenian wayang kancil tersebut.

BAB II
PEMBAHASAN
Cerita binatang (fabel) merupakansalah satu dari wujud sastra tradisional. Menurut Diana Mitchel (dalam Nurgiyantoro,2005;163) sastra tradisional merupakan bentuk ekspresi masyarakat pada masa lalu, yang umumnya disampaikan secara lisan. Sejalan dengan namanya, cerita binatang merupakan sebuah cerita yang menjadikan binatang sebagai tokohnya. Ia merupakan bentuk personofikasi binatang-binatang tersebut sehingga mereka bisa berpikir, bertingkah laku, berbicara, berperasaan dan lain-lain, sebagaimana manusia. Pada dasarnya fable tidak berbeda dengan bentik cerita lainnya –dalam arti cerita dengantokoh manusia- kecuali penggunaan binatang sebagai tokohnya, karena hal-hal yang menyangkut penokohan lengkap dengan
karakternya maupun persoalan hidup yang diungkapkannya tidak lepas dari manusia itu sendiri dengan kehidupannya. Artinya manusia dengan berbagai persoalannya tersebut diungkap lewat binatang. Jadi cerita inipun juga berupa kisah tentang manusia dan kemanusiaan yang ditujukan kepada manusia, akan tetapi melalui komunitas perbinatangan (Nurgiyantoro,2005;190-191).

Dilihat dari sifatnya fabel merupakan bentuk cerita yang universal, yang bisa ditemukan di berbagai masyarakat di dunia ini. Di Indonesia sendiri fable dapat ditemukan dalm berbagai versi, misalnya versi melayu: Hikayat Pelanduk Jenaka, versi Sunda: Sakadang Peucang, versi Jawa: Cerita Kancil, dan sebagainya. Dalam perkembangannya, fabel telah ditransformasikan kedalam berbagai bentuk, yang juga disajikan dalam berbagai media, misalnya: dalam bentuk buku cerita bergambar, film kartun, atau cerita bergambar yang dimuat di koran-koran, dsb. Kecuali itu semua fable juga telah ditransformasikan ke dalam sebuah bentuk kesenian tradisional, yang kemudian dikenal dengan nama “kesenian wayang kancil”, yang mana ia merupakan perpaduan fable itu sendiridengan sebuah kesenian tradisional yang sudah tidak asing lagi namanya: wayang kulit. Wayang kancil, jika dilihat dari sejarahnya memang belum bisa dibandingkan dengan laluhurnya, wayang purwa, yang sudah dianggap sebagai warisan budaya adiluhung, yang telah berhasil bertahan selama berabad-abad, serta yang sudah merasuk, mewarnai hati, jiwa, dan pikiran masyarakat pengampunya. Dalam tulisan “Selayang Pandang Pakeliran Wayang Kancil” disebutkan bahwa wayang kancil petama kali muncul tahun 1921 di kalangan kelompok kebatinan di kampung Secoyudan, Surakarta, yang diprakarsai oleh The Mo Liem (Bo Liem) dengan didukung oleh To Hien (sebagai penyungging dan penatah boneka wayangnya). Keduanya merupakan murid dari R. Panji Notoroto (R. Sastrowidjaja), seorang guru kebatinan sekaligus kepala daerah Ngijon [Godean] Yogyakarta. Dan menjadikan buku berjudul “Kancil Kridhamartana” sebagai pedoman cerita dalam pakeliran wayang kancil pada waktu itu (Pursubaryanto, 2005; 23-24). Dan kemudian pada tahun 1943 boneka-boneka wayang kancil disempurnakan oleh R.M. Sayid. Setelah mengalami masa-masa fluktuatif, akhirnya pada tahun 1980-an wayang kancil ini kembali muncul di Yogyakarta , yang diprakarsai oleh Ki Ledjar Subroto (Senawangi,1999;723)dan terus dilestarikan hingga saat ini.

Jika di atas tadi disebutkan bahwa cerita wayang kancil hanya berpedoman pada buku berjudul “Kancil Kridhamartana”, pada perkembangannya yang sekarang ini cerita wayang kancil tersebut bisa diadopsi dari berbagai sumber, sesuai dengan keinginan si dalang, ia bisa diambil dari fabel-fabel klasik ataupun modern dengan tidak keluar dari tujuan utama dari setiap fabel tersebut; sebagai salah satu bentuk dari sastra tradisional yang pada umumnya lebih dimaksudkan sebagai sarana untuk menyampaikan pesan moral (Nurgiyantoro,2005;165). Selain itu pada dasarnya kehadiran wayang kancil merupakan medium kontinuitas dari dongeng-dongeng binatang yang berasal baik dari Indonesia maupun dari luar negeri (Pursubaryanto,
2005; 198).

Dalam setiap pagelaran wayang kancil selain nilai-nilai moral dari cerita binatang tersebut kita juga bisa menemukan isu-isu umum yang coba diungkapkan oleh sang dalang melalui perjalanan cerita (plot) yang disampaikan. Hal ini bisa kita lihat pada pertunjukan wayang kancil pada tanggal 1 Maret tersebut. Pada pagelaran tersebut lakon yang dipilih oleh Ki Eddy Pursubaryanto –selanjutnya disebut Ki Eddy- adalah “Kancil Lena”. Lakon tersebut diambil dari salah satu cerita binatang yang berasal dari Aceh. Si Loreng, seekor harimau yang menjadi pemimpin di daerahnya ingin membalas dendam kepada musuhnya: Si Kancil. Ketika berhasil menemukannya ia kemudian memakannya. Tapi anehnya, ketika berada dalam perut Si Loreng, Si Kancil tidak mati, ia masih tetap hidup dengan menghirup udara dari wadigang (lubang anus) Si Loreng. Dalam perut Si Loreng, Si Kancil menemukan barang-barang yang tidak selayaknya berada dalam perut; “celana dalam dan BH”. Selain itu Si Kancil juga menemukan hati Si Loreng, dari situ ia bisa mengetahui sagala yang diinginkan dan dilakukan Si Loreng. Kemudian Si Kancil pun mendapat ide untuk menggangu Si Loreng, setiap kali Si Loreng hendak memangsa binatang buruannya, Si Kancil selalu berteriak dan menyuruh si mangsa untuk menjauh, sehingga Si Loreng pun kehilangan mangsanya. Hal itu berlangsung terus-menerus dan akhirnya Si Loreng pun mati. Dari sini kita sudah bisa melihat isu-isu yang coba diungkap oleh Ki Eddy; mengenai dampak dari pola hidup yang tidak sehat, khususnya mengenai segala sesuatu yang kita konsumsi setiap hari. Sehat atau tidaknya tubuh kita sangat dipengaruhi oleh sehat tidaknya makanan yang kita konsumsi sehari-hari. Bila yang kita konsumsi tersebut tidak sehat (mengandung
kuman dan bakteri) maka sebagaimana Si Kancil, kuman dan bakteri tersebut tidak akan mati dalam perut kita, mereka akan terus hidup dan menggerogoti kesehatan kita yang pada akhirnya akan membunuh kita. Selain itu Ki Eddy juga mengungkapkan isu mengenai tidak sehatnya gaya hidup seorang perokok, sama halnya dengan gaya hidup seorang yang suka makan makanan yang tidak sehat. Setelah itu, cerita tersebut dilanjutkan dengan keluarnya Si Kancil dari perut Si Loreng. Dan kemudian ia pun melakukan perjalanan meninggalkan bangkai Si Loreng. Setelah berbulan-bulan lamanya, ia pun kembali ke tempat semula. Dan
ketika ia melihat bangkai seekor harimau ingatannya pun kembali pada saat di mana Si Loreng meregang nyawanya, sehingga ia pun menjadi amat berbangga diri karena telah berhasil membunuh makhluk buas dan besar yang menjadi pemimpin di daerahnya. Ia pun kemudian melompat-lompat kegirangan di atas tulang-belulang tersebut, akan tetapi karena terlalu terlena dengan kebanggaannya ia kemudian terpeleset, jatuh terperangkap dalam tulang-tulang rusuk harimau tersebut dan tidak bisa melepaskan diri. Karena berhari-hari tidak ada yang menolong dan tidak bisa makan, Si Kancil pun akhirnya mati.

Setelah pertunjukan tersebut selesai, Ki Eddy kemudian menyampaikan pelajaran moral yang bisa diambil dari keseluruhan cerita tersebut; “siapa yang berbuat laknat akan terken laknatnya sendiri”, di mana Si Kancil yang telah berhasil membunuh Si Loreng, pada akhirnya harus menebus perbuatannya tersebut dengan harga yang sangat mahal. Sebagaimana Si Loreng yang mati karena kelaparan, kelaparan itu pulalah yang akhirnya merenggut nyawa Si Kancil. Secara keseluruhan pertunjukan tersebut telah berhasil menjalankan misinya:mengajarkannilai-nilai moral yang terkandung dalam cerita kancil tersebut. Akan tetapi dalam beberapa hal, penulis melihat beberapa unsure dari kesenian wayang kancil tersebut telah kehilangan fungsinya, ynag sebenarnya sangat penting bagi kelangsungan hidup kesenian tersebut. Yang pertama adalah unsur kebahasaan dalam wayang kancil tersebut. Bahasa merupakan unsur yang sangat penting bagi kesenian ini, karena bahasa merupakan salah satu unsure yang digunakan sebagai media untuk mengkomunikasikan segala yang terkandung dalam cerita yang disampaikan. Akan tetapi apalah artinya bahasa, ketika ia tidak mampu mangkomunikasikan tujuan dari wayang kancil tersebut, dikarenakan tidak adanya kesesuaian antara bahasa yang digunakan sang dalang dalam pertunjukannya dengan dengan bahasa yang digunakan anak-anak sebagai objek utama dari kesenian wayang kancil- sehari-hari. Karena faktanya para orang tua –khususnya yang hidup di daerah perkotaan- lebih memilih untuk menanamkan kebiasaan berbahasa Indonesia terhadap anak-anaknya sejak dini. Sedangakan wayangakancil itu sendiri seringkali menggunakan bahasa daerah -khususnya bahasa Jawa- sebagai pengantarnya, apa lagi ketika wayang kancil tersebut digelar sebagai pembuka acara pagelaran wayang purwa, sebagaimana yang diadakan di Pusat Kebudayaan UGM tersebut. Akan tetapi, masalah kebahasaan ini sebenarnya tidak begitu sulit untuk mencari permecahannya , mengingan sifat dari pertunjukan wayang kancil itu sendiriyang sangat fleksibel; di mana sang dalang bias memilih bahasa yang sekiranya sesuai dengan bahasa yang digunakan penontonnya.

Kecuali unsur kebahasaan tersebut, ada juga unsur lain yang mungkin akan sangat sulit untuk mencari solusinya: unsur hiburan dari wayang kancil itu sendiri. Di era globalisasi seperti sekarang ini, di mana media-media elektronik terus berlomba-lomba untuk menciptakan inovasi-inovasi baru dalam dunia hiburan –yang dari waktu ke waktu penyajiannya menjadi semakin menarik-, merupakan sebuah tantangan yang sangat berat bagi kesenian tradisional seperti wayang kanciluntuk selalu konsisten turut serta bersaing dengan inovasi-inovasi baru tersebut. Hal ini sangat jelas terlihat dari mulai menghilangnya fungsi dari unsure hiburan dari wayang kancil itu sendiri, yang sudah tidak mampu lagi menarik antusiasme anak-anak untuk menyaksikan pertunjukannya. Sudah merupakan sifat dasar manusia untuk memilih sesuatu yang lebih mudah didapat dan lebih bagus. Begitu pula halnya dengan anak-anak. Mereka akan lebih memilih untuk menonton bentuk-bentuk hiburan yang mereka senangi di rumah melalui media elektronik –seperti: TV, VCD, atau DVD- dari pada harus repot-repot keluar rumah dan pergi ke suatu tempat hanya untk menonton kesenian tradisionhal yang menurut mereka tidak lebih menarik dibandingkan dengan bentuk-bentuk hiburan yang mereka tonton di rumah tersebut. Situasi seperti ini sangatlah tidak menguntungkan bagi wayang kancil itu sendiri. Sebagai sebuah warisan budaya, ia sedang berada diambang kepunahan, karena pada prinsipnya warisan budaya dapatbertahan lama karena terdapat fungsi yang dikandung unsure-unsurnya. Secara kesatuan, warisan budaya mempunyai fungsi yang terkait; suatu system di mana berbagai unsure didalamnya saling berfungsi satu sama lain. Karenanya budaya dipandang sebagai sebuah organisme yang unsure-unsurnya tidak hanya saling berhubungan tapi juga memberikan andil bagi pemeliharaan stabilitas dan kelestarian hidup organisme tersebut. Jadi bias dikatakan setiap system budaya memiliki syarat-syarat tertentu untuk memungkinkan eksistensinya dan bila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi maka sistemtersebut akan mengalami disintegrasi dan “mati” (dalam Tuloli,2003;9-10), dan bukan tidak mungkin hal tersebut akan terjadi pada wayang kancil, bila ia tidak bias memenuhi syarat-syarat system budaya yang ada pada dirinya sebagai sebuah organisme, di mana fungsi dari unsure hiburan wayang kancil
itu sekarang sudah mulai terkikis oleh globalisasi.

BAB III
KESIMPULAN
Sebagaimana disebutkan di atas, wayang kancil merupakan salah satu bentuk transfomasi dari cerita-cerita binatang, jadi hakekat keberadaannya juga tidak keluar dari hakekat cerita binatang itu sendiri, yang mana keduanya telah dijadikan oleh masyarakat pemangkunya sebagai sebuah media untuk berkomunikasi dan berekspresi dalam rangka manifestasi eksistensi diri dalam kelompok sosialnya. Sedangkan berbicara mengenai fungsi dari wayang kancil itu sendiri juga tidak bias lepas dari fungsi cerita-cerita binatang tersebut. Selain sebagai sarana penyampai pesan moral, wayang kancil juga bias di jadikan sebagai media alternative untuk memberikan hiburan yang mendidik bagi anak-anak. Selain itu sebagai salah satu bentuk dari kesenian tradisional wayang kancil juga memiliki fungsi internal -dalam artian, fungsi tang menunjukkan keberadaanya sebagai kesenian tradisional- bahwa wayang kancil juga bias dijadikan sebagai media alternative untuk memperkenalkan kepada generasi muda kesenian-kesenian tradisional, khususnya kesenian wayang, dan menarik minat mereka untuk turut serta dalam pelestarian kesenian tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Sastra Anak, Pengantar Pemahaman Dunia
Anak. Yogyakarta; Gadjah Mada University Press.
Pursubaryanto, Eddy. 2005.Wayang Kancil di Indonesia: Bentuk, Fungsi,
dan Dinamika Kehidupannya (Sebuah Tesis untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan
Mencapai Derajat S-2, Program Studi Pengkajian Seni Pertujukan dan Seni Rupa,
Jurusan Ilmu-ilmu Humaniora, Program Pasca Sarjana, UGM, Yogyakarta).
Sedyawati, Edy dan Sapardi Djoko Damono. 1982. Beberapa Masalah
Perkembangan Kesenian Indonesia Dewasa ini. Jakarta; Fakultas Sastra Universitas
Indonesia.
Tim Penulis Senawangi (Sekertariat Nasional Pewayangan Indonesia).
1999. Ensiklopedi Wayang Indonesia. Jakarta; PT Sakakindo Printama.
Tuloli, Nani. Dkk. Dialog Budaya, Wahana Pelestarian dan Pengembangan
Kebudayaan Bangsa. Jakarta: Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata
Deputi Pelestarian dan Pengembangan Budaya, Direktorat Tradisi dan Kepercayaan,
Proyek Pelestarian dan Pengembangan Tradisi.

Senin, 04 November 2013

Suara Rendra, Suara Kemanusiaan


PENDAHULUAN
Menurut S. Suharianto (1982: 11) dalam bukunya yang berjudul “Dasar-dasar Teori Sastra”, karya sastra merupakan hasil dari pengamatan sastrawan ketika ia bersentuhan dengan kehidupan sekitarnya. Agaknya, pendapat tersebut memang dirasa cukup untuk mewakili apakah sebenarnya hakekat karya sastra. Karya sastra sebagai hasil merupakan final result dari segala gejolak jiwa, pergulatan pikiran dan emosi seorang sastrawan, yang di dalamnya terkandung dunia kecil ciptaan sastrawan, yang berupa dunia ide, gagasan, dan kecenderungan-kecenderungan emosional terhadap segala sesuatu yang ia temui dalam kehidupannya, baik secara langsung atau tidak langsung.
Proses penciptaan karya sastra ini menempatkan sastrawan sebagai seorang prominent figure, di mana segala ide, pemikiran dan emosinya telah ditransformasikan dan diaplikasikan ke dalam bentuk yang kongkret , tidak hanya berupa tulisan ataupun tuturan (speech) biasa, melainkan lebih pada karya-karya yang mempunyai nilai-nilai estetika di dalamnya.
Mengenai hubungan antara sastrawan dan karyanya, dalam paper yang berjudul “Suara Si Burung Merak, Suara Kehidupan” ini, penulis akan mencoba untuk menyajikan ulasan-ulasan mengenai salah seoranga sastrawan yang telah menjadi salah satu ikon penting dalam dunia kesusastraan Indonesia. Dalam hal keterkaitan dirinya dan karya-karyanya dengan problem-problem sosial. Dan figur tersebut tidak lain adalah W.S. Rendra. Yang beberapa waktu lalu, tepatnya tanggal 4 Maret 2008 telah menerima anugerah gelar Doktor Honoris Causa (DR. Hc.) yang diberikan oleh Universitas Gadjah Mada sebagai wujud penghargaan atas sumbangsihnya terhadap dunia kesusastraan Indonesia selama ini. Sebuah gelar tertinggi dalam dunia pendidikan, yang menunjukkan bahwa pemangkunya telah dianggap sebagai seorang yang ahli dalam bidanganya. Selain itu, dalam kesempatan yang lain, Fakultas Ilmu Budaya UGM juga menggelar sebuah dialog budaya yang bertema “Sumbangan Pemikiran W.S. Rendra bagi Kemanusiaan dan Kebudayaan Kontemporer”, yang tidak lain juga dimaksudkan sebagai bentuk apresiasi terhadap peranan Rendra tersebut.
Akan tetapi, terlepas dari kebesaran namanya, Rendra juga merupakan seorang manusia biasa, manusia yang hidup sebagai anggota dalam kelompok masyarakatnya, manusia yang memiliki rasa solidaritas untuk mengangkat martabat manusia yang lain, yang disebut dengan rasa kemanusiaan. Sedangkan sebagai sastrawan, ia adalah seseorang yang selalu berekspresi dalam karya-karyanya. Dan atas dasar eksistensi dirinya inilah yang kemudian memunculkan pertanyaan; apakah sebenarnya hakekat keberadaan karya-karya Rendra di tengah-tengah kehidupan masyarakat.

PEMBAHASAN
Willybordus Soerendra Bhawana Rendra, nama lengkap dari W.S. Rendra, yang lebih akrab dipanggil Rendra, Willy, atau Mas Willy. Lahir di Solo pada tanggal 7 November 1935. Ayahnya, bapak Soegeng (Brotoatmojo) adalah seorang guru yang mengajar Bahasa Indonesia dan Jawa Kawi. Ibunya, R. Ay. Ismadilah, ketika muda adalah seorang penari Bedaya Srimpi di Keraton Yogyakarta. Baik Ayahnya ataupun Ibunya telah memberikan pengaruh yang besar baginya, yang mana keduanya sangat berbeda peranannya; Ayahnya yang selalu mengajarkan ilmu-ilmu umum dan modern, seperti: sejarah, ilmu jiwa, biologi, dsb. Telah mengarahkan pemikiran Rendra ke arah pemikiran modern. Berbeda dengan Ibunya, atas bantuan Mas Janadi, sejak umur lima tahun, Rendra diajarkan pendidikan-pendidikan kejawen, yang di
sebut dengan Olah Kapujanggan, yang pada akhirnya membawa jiwa Rendra pada kesadaran-kesadaran kejawaan (lihat Rendra, 2001; 161, dan Soemanto, 2008;1-2).
Perpaduan inilah yang kemudian memiliki andil besar pada sudut pandang dan cara berpikir Rendra terhadap permasalahan-permasalahan sosial, yang pada akhirnya mempengaruhi karirnya sebagai sastrawan. Sebagaimana disebutkan di atas, dalam dunia kesusastraan Indonesia, Rendra merupakan salah seorang ikon penting khususnya dalam bidang kesenian teater dan puisi. Bahkan dalam hal ini ia telah berhasil memposisikan dirinya sebagai tokoh sentral dalam proses laju teater Indonesia ke arah pembaruan. Yang mana dunia teater Indonesia sebelumnya didomonasi oleh bentuk pertunjukan realisme –sebuah pertunjukan yang dikembengkan oleh seniman-seniman berpendidikan sekolah ataupun universitas, yang pertunjukannya didasarkan pada naskah-naskah terjemahan dan naskah drama realisme Indonesia, dan proses pertunjukannya juga berdasar pada prinsip pola seni peran film yang bergaya realis-naturalistik (Yudiaryani, 2008;1-2).
Peranan pentingnya tersebut bisa kita lihat melalui lahirnya sebuah inovasi baru dalam dunia teater Indonesia. Sebuah pertunjukan teater non-verbal dan non-linier, yang kemudian dikenal dengan nama “Mini Kata” pada tahun 1968. Pertunjukan teater tersebut dipentaskan tanpa naskah drama, hanya dengan sedikit kata dan hanya mengutamakan penggambaran sebuah situasi secara langsung melalui gerak tubuh sang aktor yang memiliki fariasi dalam pemaknaannya (Yudiaryani, 2008;1).
Sebagai seorang sastrawan dan seniman, Rendra sangat menghargai kesenian. Ia menganggap, kesenian merupakan sesuatu yang sangat bernilai sebagaimana emas ataupun permata, apabila ia murni. Seni bisa bertemakan apa saja: filsafat, keagamaan, masalah sosial, politik, dsb. Tapi sifatnya harus tetap seni. Seni tidak mengutamakan kepuasan naluri dan panca indera semata. Tetapi mengutamakan olah kesadaran batin dan pikiran (Rendra, 2001; 99-100). Oleh karena itu dalam setiap karya-karyanya kita bisa melihat kemurnian yang terpancar sebagai hasil dari olah kesadaran batin dan pikirannya. Dan tema yang menjadi objek olah kesadaran batin dan pikirannya tersebut kebanyakan adalah masalah-masalah sosial, khususnya
masalah kemanusiaan. Hal tersebut bisa kita lihat dalam salah satu sajak ciptaannya yang berjudul “Njanjian Angsa”. Sebuah sajak yang bercerita mengenai perjalanan seorang pelacur yang terbuang. Rendra menggambarkan betapa memprihatinkannya nasib seorang pelacur. Ketika ia terdesak masalah kemiskinan dan memutuskan untuk menjadi seorang pelacur –karena susah mencari pekerjaan- ia harus terusir dari
kelompok masyarakatnya. Dan setelah ia menginjak usia lanjut, mulai kehilangan daya tariknya, dan penyakit-penyakit mulai menghinggapi tubuhnya, sekali lagi ia harus terusir dari kelompoknya –lingkungan prostitusi-. Ia menjadi manusia tertolak di manapun ia berada, bahkan ketika ia ingin mengakui segala dosa-dosanya, ia pun harus tertolak di rumah Tuhan (Rendra, 1971; 29-37).

.......................................
Dan muka pastor mendjadi merah padam.
Ia menuding Maria Zaitun.
“ Kamu galak seperti matjan betina.
Barangkali kamu akan gila.
Tapi tidak akan mati.
Kamu tidak perlu pastor.
Kamu perlu dokter djiwa. (Rendra, 1971;32)

Dari sini kita bisa melihat bahwa perhatian Rendra terhadap masalah-masalah sosial sangatlah mendalam; bahwa ia telah mencapai titik di mana ia mampu menyelami dan memahami pikiran serta emosi seorang manusia, yang dalam struktur kemasyarakatan tergolong dalam kelompok marjinal (kelompok orang-orang yang tersingkir). Selain sajak tersebut masih banyak sekali karya-karya Rendra yang menunjukkan betapa dekat dirinya dengan kehidupan sosial masyarakat, misalnya dalam sajaknya yang berjudul “Sajak Burung-burung Kondor” (1973), “Orang – orang miskin” (1978), “Bersatulah Pelacur- pelacur Kota Jakarta” (1971), dsb. Kecuali masalah-masalah sosial tersebut, hal-hal lain yang tidak luput dari perhatian Rendra adalah masalah lingkungan hidup, sebagaimana yang ia tunjukkan dalam karyaanya yang berjudul “Kesaksian Tahun 1967” (1971) yang menggambarkan kerakusan manusia ketika mengeruk kekayaan bumi, demi kepentingan pribadi, mereka menggali dan terus menggali tanpa memperhatikan keseimbangan lingkungan dan ekosistem di sekitarnya.

Dunia jang akan kita bina adalah dunia badja
katja dan tambang-tambang jang menderu.
Bumi bakal tidak lagi perawan
tergarap dan terbuka
sebagai lonte jang merdeka.
Mimpi jang kita kedjar, mimpi platina berkilatan.
Duni jang kita indjak, dunia kemelaratan.
Keadaan jang menjekap kita, rahang serigala jang menganga.
..........................................
(Rendra, 1971;20).

Sebagai seorang budayawan, Rendra selalu mendasarkan segala tindakan dan
pemikirannya –baik yang bersifat pemberontakan, simpati, kritik, dsb. pada penghargaannya terhadap sebuah unsur penting dalam kebudayaan: daya hidup, dan pada perlawananya terhadap unsur pengganggu daya hidup: daya mati. Sejak manusia dilahirkan, dalam dirinya telah melekat dua daya, yang disebut
daya hidup dan daya mati. Dalam kaitannya dengan kebudayaan, daya hidup adalah usaha manusia untuk memperluas, memperbaiki dan memperindah kemungkinan-kemungkinan dari keinginan-keinginannya. Daya hidup merupakan daya yang paling penting jika dibandingkan dengan daya-daya yang lain: daya politik, daya sosial, daya seni, dsb. Tanpa daya hidup daya-daya lain tersebut tidak ada artinya, mereka akan beku, mati dan akhirnya sirna. Sedangkan daya mati berarti mengakhiri segala daya hasil dari seorang manusia di dunia. Daya mati selalu bisa menggangu unsur-unsur daya hibup dan menimbulkan kerusakan kesejahteraan hidup, ketika manusia tidak waspada. Gangguan daya mati tersebut bisa berupa penyakit yang merusak daya akal, daya organisasi, daya tumbuh kembang, dan daya cipta manusia (dalam Rendra,2001; 16-17).
Sebagaimana pada diri manusia secara individu, di dalam masyarakat, sebagai kumpulan dari manusia-manusia, juga terdapat daya hidup dan daya mati. Daya mati dalam masyarakat bisa berupa: tiranisme, feodalisme, kolonialisme, korupsi, anarki, kekolotan, dsb. yang kesemuanya merupakan penyakit di dalam masyarakat manusia. Karena hal-hal tersebut bisa merusak daya akal, daya organisasi, daya mobilitas daya
tumbuh kembang, daya cipta, dan daya inisiatif anggotanya. Sehingga membuat mereka menjadi manusia bersumber daya rendah (dalam Rendra, 2001;18-19).
Dalam tulisannya yang berjudul “Renungan Dasar tentang Kebudayaan” (dalam Rendra, 2001; 50-51), ia menyebutkan bahwa mengolah daya hidup adalah hal yang sangat penting dalam membina kesejahteraan manusia, dan ancaman terhadap terhadap daya hidup adalah hal yang merugikan kesejahteraan manusia.
Karena kebudayaan merupakan usaha manusia untuk meningkatkan kesejahteraan, maka adalah tugas kebudayaan yang pertama dan utama untuk menjaga daya hidup. Atas dasar komitmen tersebut, maka ketika Rendra menaggapi masalah-masalah sosial, kemasyarakatan atau politik, ia selalu menggunakan paradigma kesenian dan kebudayaan (dalam Rendra, 2001;19-20), yaitu melalui bait-bait sajak atau adegan- adegan drama dalam teaternya.

KESIMPULAN
Sebagaimana disebutkan di atas, Rendra adalah seniman yang memiliki komitmen untuk membela dan memperjuangkan daya hibup, baik daya hidup manusia, masyarakat, ataupun daya hidup alam. Ketika daya hidup mereka mendapat gangguan dari daya mati, yang menimbulkan kerusakan daya akal, daya organisasi,
daya mobilitas daya tumbuh kembang, daya cipta, dan daya inisiatif mereka, sajak- sajak (karya-karya) Rendra selalu muncul untuk mewakili pemberontakan terhadap gangguan-gangguan daya mati tersebut. Oleh karena itu, bisa dikatakan setiap karya-karya ciptaan Rendra merupakan suara-suara pembelaan terhadap kehidupan manusia, masyarakat dan alam.

DAFTAR PUSTAKA
Rendra, W.S. 2001. Rendra, Penyair dan Kritik Sosial. Yogyakarta; KEPEL
Press.
____________.1971. Blues untuk Bonnie. Pasuketan, Djatiwangi, Tjirebon;
Tjupumanik.
Soemanto, Bakdi. 2008. Rendra: Sumbangannya Kepada Kemanusiaan dan
Kebudayaan Kontemporer. (Makalah yang Disampaikan dalam Dialog Budaya
Sumbangan Pemikiran W.S. Rendra bagi Kemanusiaan dan Kebudayaan
Kontemporer, FIB-UGM, Yogyakarta).
Suharianto, S.1982. Dasar-dasar Teori Sastra. Surakarta; Widya Duta.
Yudiaryani. 2008. Membaca Kehadiran Rendra dan Mini Kata. (Makalah
yang Disampaikan dalam Dialog Budaya Sumbangan Pemikiran W.S. Rendra bagi
Kemanusiaan dan Kebudayaan Kontemporer, FIB-UGM, Yogyakarta).

Ramawijaya dalam Budaya Jawa




Pendahuluan
Dalam khasanah kesusastraan Jawa, kita memiliki bermacam-macam cerita rakyat dengan beragam bentuk dan cara penyampaiannya; baik berupa cerita legenda, dongeng, ataupun epos, yang disampaikan secara oral maupun tertulis. Kebanyakan karya sastra yang sifatnya tradisional seperti ini memiliki nilai-nilai luhur di dalamnya. Oleh karananya, sejak dulu masyarakat Jawa sering menggunakan cerita-cerita tersebut sebagi media pengajaran bagi anak-cucu mereka. Mengenai hal ini, masyarakat Jawa juga mampunyai sebuah kesenian tradisional yang bisa dikatakan merupakan wujud pengaplikasian cerita-cerita tersebut ke dalam bentuk seni pertunjukan; sebuah kesenian yang dikenal dengan sebutan wayang.
Wayang sering dianggap sebagi sebuah kesenian adiluhung, warisan dari kebudayaan Jawa kuno. Kesenian yang telah diuji dan ditempa oleh waktu sejak ratusan tahun yang lalu. Wayang telah berhasil membuktikan dirinya sebagai bagian tak terpisahkan dari masyarakat Jawa dengan terus berkambang dan senantiasa menyerap nilai-nilai dari setiap zaman yang dilaluinya. Jadi bisa dikatakan, sekarang ini wayang merupakan bentuk akumulasi nilai dari zaman sejak pertama kali ia diciptakan hingga zaman modern di mana ia hidup sekarang ini.
Dengan mengadopsi cerita-cerita bernilai luhur di atas, wayang dijadikan masyarakat Jawa sebagai media alternatif pengajaran norma-norma budi pekerti yang terkandung dalam cerita tersebut kepada generasi-generasi mereka. Dalam dunia pewayangan bisa kita jumpai berbagai jenis tokoh dangan karakternya masing-masing, yang di dalamnya terkandung beragam nilai-nilai kehidupan. Karakter-karakter tersebut merupakan lambang dari berbagai perwatakan yang ada dalam kehidupan manusia. Ada tokoh baik, ada juga tokoh jahat. Ada yang melambangkan kejujuran, keadilan, kesucian, kepahlawanan, tapi ada pula yang melambangkan keangkaramurkaan, keserakahan, ketidak jujuran, dan sebagainya. Ada sifat dan perilaku yang patut ditiru tetapi ada juga yang seyogyanya dijauhi. Beragam kepribadian yang setidaknya bisa digunakan untuk mawas diri.
Di antara sekian banyak tokoh pewayangan, Rama atau Ramawijaya adalah salah satu tokoh yang keberadaannya sangat signifikan. Di balik tokoh Rama tersebut tercermin banyak sekali nilai-nilai luhur kebudayaan Jawa yang sudah terintegrasi selama berabad-abad. Berdasar pada hal tersebut tulisan ini bertujuan untuk mengungkap dan menggali lebih jauh nilai-nilai seperti apakah yang bisa diambil dan diteladani dari sosok Rama tersebut dalam kaitannya dengan kebudayaan Jawa.

Pembahasan
Identitas Budaya Jawa dan Wayang
Jawa merupakan satu dari sekian banyak suku bangsa yang hidup di Indonesia, dan merupakan suku dengan populasi penduduk yang terbesar. Hal tersebut karena masyarakat Jawa memiliki perjalanan sejarah yang sangat panjang. Tidak ada yang tahu pasti sejak kapan perjalanan sejarah tersebut dimulai, yang pasti jauh sebelum karajaan-kerajaan Jawa-Hindu ataupun Jawa-Islam berdiri. Sudah banyak ditemukan bukti-bukti sejarah yang menunjukkan keberadaan sekelompok masyarakat Jawa yang hidup sebelum munculnya kerajaan-karajaan tersebut. Tidak bisa dipungkiri perjalanan panjang tersebut telah memberikan pengaruh yang sangat signifikan dalam perkembangan dan pembentukan identitas masyarakat serta kebudayaan Jawa sekarang ini.
Akan tetapi sebelum mengkaji kebudayaan Jawa lebih jauh, terlebih dahulu kita harus mengerti apa yang dinamakan kebudayaan itu sendiri. Prof. Dr. Koentjaraningrat dalam bukunya “Pengantar Ilmu Antropologi”, menyebutkan definisi kebudayaan sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar (Koentjaraningrat. 2000; 108). Definisi ini memahamkan kita bahwa kebudayaan itu bisa mencakup segala bentuk aktivitas manusia; aktivitas berfikir untuk melahirkan gagasan, ide, pemikiran, ideologi, dan aktifitas -dalam arti sebenarnya- untuk melakukan tindakan, kegiatan, pekerjaan, ataupun aktifitas untuk menghasilkan karya cipta manusia, yang kesemuanya itu diperoleh melalui proses belajar. Dan kemudian keseluruhan sistem tersebut dijadikan milik bersama dalam sebuah kerangka kehidupan bermasyarakat.
Kebudayaan Jawa, bila diasosiasikan dengan definisi di atas, bisa diartikan sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia Jawa yang diperolehnya melalui proses pembelajaran dan dijadikan milik bersama dalam sebuah kerangka kehidupan masyarakat Jawa. Gagasan dan pemikiran masyarakat Jawa sering kali ditemui dalam ungkapan-uangkapan sederhana seperti “manunggaling kawulo Gusti”, “narimo ing pandum”, “sepi ing pamrih, rame ing gawe” dan sebagainya. Tindakan dan aktivitas masyarakat Jawa bisa dicermati melalui cara mereka bergaul dalam komunitas masyarakatnya, yang selalu dilandasi nilai-nilai toleransi, gotong-royong, tenggang rasa, dan sebagainya. Sedangkan hasil karya masyarakat Jawa bisa dilihat dari benda-benda kongkret hasil ciptaan mereka, misalnya; candi Prambanan, candi Borobudur, patung atau arca yang ada di candi-candi tersebut, kain batik Yogya, ukiran-ukiran Jepara dan lain sebaginya, yang kesemuanya merupakan manifestasi wujud kebudayaan berupa sistem budaya, sistem sosial, serta unsur-unsur kebudayaan fisik.
Menurut Ir. Sujamto dalam bukunya “Refleksi Budaya Jawa; dalam Pemerintahan dan Pembangunan” ciri-ciri utama budaya Jawa selalu bersifat religius, non-doktriner, toleran, akomodatif, dan optimistik. Meskipun tidak mencakup secara keseluruhan paling tidak rumusan tersebut bisa dianggap sebagai yang paling pokok, yang secara keseluruhan ataupun sendiri-sendiri selalu memberi warna pada pertumbuhan dan perkembangan dari semua unsur kebudayaan yang ada (Sujamto, 1997; 33). Dan kemudian ciri-ciri utama tersebut telah melahirkan corak, sifat dan kecenderungan yang khas bagi masyarakat Jawa, diantaranya adalah;
  • Percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai Sangkan Paraning Dumadi, dengan segala sifat, kekuasan dan kebesaranNya, yang merupakan hasil dari sifat religius yang mereka miliki; keyakinan bahwa manusia hidup di dunia ini bukan atas kehendaknya sendiri, akan tetapi ada kekuatan besar yang lebih hakiki di luar manusia ataupun makhluk ciptaan lainnya, yang mengendalikan segala sesuatu yang ada di alam semesta ini.
  • Bercorak idealistis, percaya kepada sesuatu yang bersifat immaterial (bukan kebendaan) dan hal-hal yang bersifat adikodrati (supernatural) serta cenderung ke arah mistik, yang merupakan perpaduan antara sifat religius dan optimistik mereka; kesadaran dan keyakinan akan kebesaran Tuhan yang telah menciptakan manusia dan makhluk-makhluk selain manusia yang digariskan untuk hidup saling berdampingan dan senantiasa menjaga keharmonisan hidup masing-masing.
  • Mengutamakan cinta kasih sebagai landasan pokok hubungan antar manusia, yang merupakan perpaduan antara sifat toleran, akomodatif, dan optimistik mereka; kesadaran mereka bahwa manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang tidak akan mampu hidup sendiri tanpa barinteraksi dengan yang lainnya. Mereka meyakini rasa cita kasih yang terwujud dalam rasa toleransi, saling menghormati, dan tenggang rasa atau tepo seliro merupakan kunci utama untuk menjaga keharmonisan hubungan mereka demi terwujudnya kehidupan bermasyarakat yang rukun, damai, guyub serta gemar bergotong-royong.
  • Bersifat konvergen (menyatu), universal dan terbuka, yang merupakan perpaduan antara sifat toleran dan akomodatif. Hal ini berdasar pada sikap mereka yang tidak over-fanatic terhadap sesuatu, sehingga mereka bisa menerima dengan hati terbuka segala bentuk pengaruh yang datang dari luar kebudayaan mereka. Akan tetapi dengan masuknya pengaruh baru tersebut bukan berarti mereka lantas kehilangan identitas kejawénnya. Bahkan identitas itu justru akan turut mamberikan warnanya tersendiri ke dalam pengaruh yang datang dari luar tersebut. Identitas kejawén mereka akan selalu terjaga dan akan tetap tercermin dalam segala bentuk tingkah-laku dan aktivitas hidup mereka.
  • Cenderung pada simbolisme; yang merupakan wujud dari sifat religius serta didukung oleh perilaku “lebih mengutamakan rasa ketimbang rasio” yang mereka miliki. Dalam hal ini religius memiliki cakupan makna yang lebih luas, tidak hanya berkutat pada keyakinan mereka terhadap Tuhan saja, tapi juga mencakup sisi-sisi spiritualitas dan batin mereka. Ketika mereka mendapati sesuatu, tanggapan yang paling dominan muncul adalah dari sisi spiritualitas dan batin mereka, sehingga menghasilkan perilaku lebih mengutamakan rasa dari pada rasio tersebut. Dan kecenderungan pada simbolisme di atas lahir dari peristiwa ini; yaitu ketika masyarakat Jawa sudah terlalu biasa menanggapi sesuatu dengan batin mereka, maka mereka akan terbiasa pula untuk membuat simbol-simbol, karena untuk memahami simbol-simbol tersebut membutuhkan penghayatan batin yang mendalam (Sujamto. 1997; 137).

Meskipun tidak mencakup seluruh sifat dan kecenderungan masyarakat Jawa, akan tetapi kiranya uraian di atas dirasa cukup menjembatani untuk menuju pembahasan selanjutnya.
Sebagaimana yang kita ketahui, Jawa memiliki kebudayaan yang begitu kaya sebagai wujud dari perjalanan sejarah yang panjang. Kebudayaan tersebut mencakup berbagai aspek kehidupan masyarakatnya yang kesemuanya terangkum dalam unsur-unsur kebudayaan itu sendiri. Prof. Dr. Koentjaraningrat menyebutkan unsur-unsur kebudayaan itu ada tujuh; bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian hidup, sistem religi, dan kesenian (Koentjaraningrat. 2000; 203-204).
Sebagai kelompok yang selalu cenderung pada simbolisme, masyarakat Jawa menempatkan kesenian mereka pada kedudukan yang tinggi. Terbukti dari banyaknya kesenian-kesenian yang memiliki nilai luhur dan sakral dalam budaya mereka seperti halnya wayang. Wayang memiliki nilai yang benar-benar luhur bagi mereka. Hal itu bisa dilihat dari peran dan fungsinya di tengah-tengah kehidupan mereka. Menurut R.M. Soedarsono, sebagai salah satu bentuk pertunjukan tradisional wayang mamiliki tiga fungsi; sebagai sarana ritual, sebagai hiburan pribadi, dan sebagi penyajian estetis (selengkapnya bisa dibaca dalam bukunya yang berjudul “Seni Pertunjukan di Era Globalisasi”). Sedangkan untuk peranan wayang itu sendiri tergantung pada perspektif yang kita ambil. Dalam sudut pandang politik misalnya, wayang bisa memiliki peranan yang sifatnya politis; dengan menjadikannya sebagai media legitimasi kekuasaan, media propaganda politis, atau bahkan media profokasi. Sedangkan dalam sudut pandang pendidikan, wayang bisa mempunyai nilai yang lebih luhur; dengan menjadikannya sebagi media pengajaran dan penanaman nilai-nilai moral bagi generasi muda, atau bahkan sebagi media yang bisa menumbuhkan kecintaan mereka terhadap kebudayaan daerah.
Representasi Budaya Jawa dalam Tokoh Rama
Kita semua tentu tahu dalam dunia pewayangan teradapat sebuah kisah yang dikenal dengan nama “Ramayana”. Kisah ini sering dijadikan sebagai cerita pakem dalam sebuah pagelaran wayang. Sejalan dengan esensi dari setiap cerita pewayangan; selalu mengetengahkan perlawanan antara kebenaran dan kebatilan yang diakhiri dengan kemenangan pihak yang benar atas yang batil, kisah ini mengangkat perlawanan antara tokoh Rama (reinkarnasi Betara Wisnu) dari pihak yang benar dan Rahwana dari pihak yang batil dengan kemenangan Rama di akhir ceritanya.
Kisah Ramayana ini diyakini bersumber dari sebuah karya sastra India abad IV yang berjudul “Ravanavadha” atau “Kematian Rahwana” (hasil karya pujangga Bhatti yang sering disebut “Bhattikavya”) yang kemudian dibawa ke Indonesia seiring dengan masuk dan berkembangnya budaya Hindu di Tanah Air, khususnya Jawa ratusan tahun yang lalu. Setelah mengalami proses penyesuaian terhadap budaya lokal (Jawa) kisah tersebut kemudian menjadi bagian dari khasanah kesusastraan Jawa yang dikenal dengan “Serat Kakawin Ramayana”
Sebagai bagian dari kesusastraan Jawa cerita Ramayana tidak bisa terhindar dari sistem simbolisme budaya Jawa. Banyak sekali nilai-nilai etis, norma ataupun moral yang tercermin dari sistem simbol yang terdapat dalam setiap karakter tokohnya ataupun alur ceritanya. Hal ini bisa kita lihat dalam karakter tokoh Rama. Sebagi tokoh utama yang berpihak pada kebenaran, Rama memiliki sifat dan karakteristik yang mencerminkan nilai-nilai luhur budi-pekerti dalam ranah hidupnya sebagai makhluk sosial, misalnya; ketika kita melihatnya sebagai sosok anak yang patuh dan memiliki bakti penuh kepada orang tuanya, atau sebagai seorang suami yang bertanggung jawab penuh dan mencintai istrinya, atau bahkan sebagai seorang pemimpin yang bertanggung jawab dan mengayomi rakyat serta bawahannya. Akan tetapi ketika kita berbicara mengenai karakter Rama dalam ranah budaya, lebih spesifik lagi budaya Jawa, yang kita temukan tidak hanya nilai-nilai budi pekerti seperti di atas, tetapi kita juga akan bisa melihat representasi karakteristik budaya Jawa dalam perilaku Rama yang tersaji dalam kisah Ramayana tersebut.
Sebagaimana disebutkan di atas ciri utama budaya Jawa selalu bersifat religius, non-doktriner, toleran, akomodatif, dan optimistik. Sifat religius yang bisa diamati dari tokoh Rama adalah; sekalipun ia marupakan seorang titisan Dewa, Rama mengerti benar bahwa ia adalah seorang manusia yang mampercayai segala sesuatu yang ada di alam semesta ini berdasarkan kehendak para Dewata, oleh karenanya ia selalu mempersembahkan pemujaannya terhadap mereka. Bahkan diceritakan ketika menjalani masa pembuangannya, Rama beserta istri dan saudaranya selalu mengunjungi tempat-tempat pemujaan dan melakukan berbagai upacara. Mereka memuja Dewa Indra (penguasa mega, mendung, dan hujan), Dewi Agni (penguasa api), Dewa Kuwera (pengusa kekayaan), Dewa Wiwasata (penguasa langit biru), Dewa Bayu (penguasa angina), Dewa Waruna (penguasa lautan), dan juga Dewa Yama (penguasa kematian). Selain itu mareka juga megunjungi para pertapa untuk meminta petuah dan nasihat sebagi bekal kesempurnaan hidup.
Sifat non-doktriner dalam hal ini mungkin bisa kita artikan sebagai sifat yang lebih menghargai kebebasan atau bisa juga diartikan sebagai sifat yang demokratis. Nilai-nilai demoktaris seperti itu yang bisa kita lihat dalam karakter Rama adalah ketika ia menjalani hari-harinya dalam pengasingan; setiap ia menghadapi kesulitan atau permasalahan, ia selalu mendiskusikan pemecahannya dengan adik dan istrinya. Ia selalu menjadikan musyawarah sebagai alternatif utama dalam penyelesaian permasalahan-permasalahannya. Baik ketika ia menjadi seorang kakak, suami, ataupun pemimpin ia tidak pernah memaksakan pendapatnya. Bahkan diceritakan, sebelum penyerangan ke kerajaan Alengka, Rama beserta para kesatria Kiskenda mengadakan sebuah musyawarah untuk menentukan strategi peperangan yang akan digunakan. Dalam diskusi tersebut setiap kesatria bebas memberikan sumbangsih pemikiran dan pendapatnya masing-masing. Hal itu menunjukkan dengan bertindak non-doktriner, Rama menghormati segala bentuk pendapat ataupun pemikiran di luar dirinya.
Sifat toleran budaya Jawa dalam hal ini bisa kita kaitkan dengan sifat budaya Jawa yang lain; akomodatif. karena bisa dikatakan sikap akomodatif merupakan sikap lanjutan dari sebuah toleransi. Dan hal itu bisa kita lihat dalam karakter tokoh Rama ketika ia menerima Wibisana (adik Rahwana) setelah Wibisana tersebut menentang kemauan kakaknya dan diusir dari kerajaan Alengka. Meskipun Rama mengetahui latar belakang Wibisana (sebagai kaum Raksasa) akan tetapi ia tetap menerimanya bahkan menganggapnya sebagai saudara. Karena secara tegas dia telah menentukan sikapnya untuk tetap berpegang teguh pada kebenaran. Rama sangat menghargai hal tersebut, dan karenanya ia tidak mempermasalahkan dari mana Wibisana itu berasal
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata optimis berarti “orang yang selalu berpengharapan (berpandandangan baik/positif) dalam menghadapi segala hal” (T.P. Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1988). Dari sini kata optimistis bisa kita artikan sebagai sikap yang dilandasi pandangan positif dalam menghadapi segala hal. Dengan pemaknaan tersebut, kita bisa melihat nilai optimistis yang tercermin dari tokoh Rama yaitu ketika Bharata, adiknya, menyusulnya ke hutan dengan membawa berita kematian Ayahandanya. Dalam kesempatan itu juga Bharata menginginkan agar kakaknya tersebut bersedia kembali ke kerajaan dan menjadi Raja. Akan tetapi Rama menolak, karena ia tidak ingin menghianati sumpah Ayahandanya, dan tidak ingin menimbulkan perpecahan dalam keluarganya. Lebih dari pada itu, sebenarnya ia mengerti bahwa ini merupakan takdir yang sudah digariskan untuknya dan ia percaya takdir tersebut akan membawa kebaikan dimuka bumi; ketika ia harus bertarung dan kemudian mengalahkan Rahwana. Karena tujuan utama Batara Wisnu bereinkarnasi menjadi Rama adalah untuk menghentikan keangkara murkaan Rahwana dan mewujudkan kembali kedamaian di muka bumi ini (semua informasi tentang tokoh Rama dalam bab II ini berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Drs. Bambang Purnomo, hari minggu, 14 Desember 2008, jam 20.00 wib. Di Taman Budaya Yogyakarta, dan dengan Bapak Parjaya S.Sn. hari Rabu, 17 Desember 2008, jam 15.00, melalui sebuah interview via telephon).

Penutup
Uraian di atas menunjukkan betapa erat hubungan antara budaya Jawa dan unsur-unsurnya, dalam hal ini adalah kesenian, yang diwakili oleh kesenian tradisional wayang. Dalam tokoh pewayangan, khususnya Rama, terdapat banyak sekali nilai-nilai budi-pekerti yang bisa kita ambil sebagai bekal dalam menjalani kehidupan, yang kesemuanya itu merupakan perwujudan nilai-nilai luhur budaya Jawa.
Nilai-nilai seperti religius, non-doktriner, toleran, akomodatif, ataupun optimistik pada dasarnya bersumber pada satu gagasan utama budaya Jawa itu sendiri yang berupa etika keselarasan. Etika keselarasan ini mengajarkan masyarakat Jawa untuk selalu menjaga dan menghindari konflik kehidupan bersama, dengan merelatifkan pendiriannya sendiri demi keutuhan yang menyeluruh, dengan berlaku sopan dan tenang, dan dengan mengembangkan sikap hati yang bersedia untuk melepaskan sesuatu yang justru akan menghalanginya dalam usaha mencapai makna kehidupan yang sebenarnya (Magnis-Suseno, Franz. 1991; 80).
Untuk itu merupakan sebuah langkah yang bijak bagi kita, yang sekarang ini hidup dalam zaman globalisasi, sebuah zaman yang sudah jauh meninggalkan konsep kerselarasan, untuk berkaca kembali dan merenungi kearifan budaya lokal yang dengan etika keselarasannya diharapkan akan bisa mewujudkan kualitas hidup yang lebih baik.

Daftar Pustaka
Koentjaraningrat. 2000. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta; PT Rineka Cipta.
Magnis-Suseno, Franz. 1991. Wayang dan Panggilan Manusia. Jakarta; PT Gramedia Pustaka Utama.
Soedarsono, R.M. 1998. Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Sujamto. 1997. Refleksi Budaya Jawadalam Pemerintahan dan Pembangunan. Semarang; Dahara Prize.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta; Balai Pustaka.


Daftar Nara Sumber
1. Nama : Drs. Bambang Purnomo
Alamat : Blok Patuk, NG.1/588, Yogyakarta.
Usia : 59 tahun.
Keterangan :
  • Anggota Forum Pelestari Budaya Kabupaten Sleman.
  • Anggota Penasehat PEPADI.
  • Penasehat Macopat Sekar Manunggal Sleman Sembada.
  • Ketua Paguyuban Abdi Dalem Keraton Yogyakarta Wilayah Kabupaten Sleman.
2. Nama : Parjaya, S.Sn
Alamat : Jomegatan, Ngestiharjo, Kasihan, Bantul, Yogyakarta.
Usia : 52 tahun.
Keterangan :
  • Tenaga Pengajar “Widya Iswara” di P4TK Seni Budaya Yogyakarta.
  • Dalang Wayang Kulit Yogyakarta.