Senin, 04 November 2013

Ramawijaya dalam Budaya Jawa




Pendahuluan
Dalam khasanah kesusastraan Jawa, kita memiliki bermacam-macam cerita rakyat dengan beragam bentuk dan cara penyampaiannya; baik berupa cerita legenda, dongeng, ataupun epos, yang disampaikan secara oral maupun tertulis. Kebanyakan karya sastra yang sifatnya tradisional seperti ini memiliki nilai-nilai luhur di dalamnya. Oleh karananya, sejak dulu masyarakat Jawa sering menggunakan cerita-cerita tersebut sebagi media pengajaran bagi anak-cucu mereka. Mengenai hal ini, masyarakat Jawa juga mampunyai sebuah kesenian tradisional yang bisa dikatakan merupakan wujud pengaplikasian cerita-cerita tersebut ke dalam bentuk seni pertunjukan; sebuah kesenian yang dikenal dengan sebutan wayang.
Wayang sering dianggap sebagi sebuah kesenian adiluhung, warisan dari kebudayaan Jawa kuno. Kesenian yang telah diuji dan ditempa oleh waktu sejak ratusan tahun yang lalu. Wayang telah berhasil membuktikan dirinya sebagai bagian tak terpisahkan dari masyarakat Jawa dengan terus berkambang dan senantiasa menyerap nilai-nilai dari setiap zaman yang dilaluinya. Jadi bisa dikatakan, sekarang ini wayang merupakan bentuk akumulasi nilai dari zaman sejak pertama kali ia diciptakan hingga zaman modern di mana ia hidup sekarang ini.
Dengan mengadopsi cerita-cerita bernilai luhur di atas, wayang dijadikan masyarakat Jawa sebagai media alternatif pengajaran norma-norma budi pekerti yang terkandung dalam cerita tersebut kepada generasi-generasi mereka. Dalam dunia pewayangan bisa kita jumpai berbagai jenis tokoh dangan karakternya masing-masing, yang di dalamnya terkandung beragam nilai-nilai kehidupan. Karakter-karakter tersebut merupakan lambang dari berbagai perwatakan yang ada dalam kehidupan manusia. Ada tokoh baik, ada juga tokoh jahat. Ada yang melambangkan kejujuran, keadilan, kesucian, kepahlawanan, tapi ada pula yang melambangkan keangkaramurkaan, keserakahan, ketidak jujuran, dan sebagainya. Ada sifat dan perilaku yang patut ditiru tetapi ada juga yang seyogyanya dijauhi. Beragam kepribadian yang setidaknya bisa digunakan untuk mawas diri.
Di antara sekian banyak tokoh pewayangan, Rama atau Ramawijaya adalah salah satu tokoh yang keberadaannya sangat signifikan. Di balik tokoh Rama tersebut tercermin banyak sekali nilai-nilai luhur kebudayaan Jawa yang sudah terintegrasi selama berabad-abad. Berdasar pada hal tersebut tulisan ini bertujuan untuk mengungkap dan menggali lebih jauh nilai-nilai seperti apakah yang bisa diambil dan diteladani dari sosok Rama tersebut dalam kaitannya dengan kebudayaan Jawa.

Pembahasan
Identitas Budaya Jawa dan Wayang
Jawa merupakan satu dari sekian banyak suku bangsa yang hidup di Indonesia, dan merupakan suku dengan populasi penduduk yang terbesar. Hal tersebut karena masyarakat Jawa memiliki perjalanan sejarah yang sangat panjang. Tidak ada yang tahu pasti sejak kapan perjalanan sejarah tersebut dimulai, yang pasti jauh sebelum karajaan-kerajaan Jawa-Hindu ataupun Jawa-Islam berdiri. Sudah banyak ditemukan bukti-bukti sejarah yang menunjukkan keberadaan sekelompok masyarakat Jawa yang hidup sebelum munculnya kerajaan-karajaan tersebut. Tidak bisa dipungkiri perjalanan panjang tersebut telah memberikan pengaruh yang sangat signifikan dalam perkembangan dan pembentukan identitas masyarakat serta kebudayaan Jawa sekarang ini.
Akan tetapi sebelum mengkaji kebudayaan Jawa lebih jauh, terlebih dahulu kita harus mengerti apa yang dinamakan kebudayaan itu sendiri. Prof. Dr. Koentjaraningrat dalam bukunya “Pengantar Ilmu Antropologi”, menyebutkan definisi kebudayaan sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar (Koentjaraningrat. 2000; 108). Definisi ini memahamkan kita bahwa kebudayaan itu bisa mencakup segala bentuk aktivitas manusia; aktivitas berfikir untuk melahirkan gagasan, ide, pemikiran, ideologi, dan aktifitas -dalam arti sebenarnya- untuk melakukan tindakan, kegiatan, pekerjaan, ataupun aktifitas untuk menghasilkan karya cipta manusia, yang kesemuanya itu diperoleh melalui proses belajar. Dan kemudian keseluruhan sistem tersebut dijadikan milik bersama dalam sebuah kerangka kehidupan bermasyarakat.
Kebudayaan Jawa, bila diasosiasikan dengan definisi di atas, bisa diartikan sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia Jawa yang diperolehnya melalui proses pembelajaran dan dijadikan milik bersama dalam sebuah kerangka kehidupan masyarakat Jawa. Gagasan dan pemikiran masyarakat Jawa sering kali ditemui dalam ungkapan-uangkapan sederhana seperti “manunggaling kawulo Gusti”, “narimo ing pandum”, “sepi ing pamrih, rame ing gawe” dan sebagainya. Tindakan dan aktivitas masyarakat Jawa bisa dicermati melalui cara mereka bergaul dalam komunitas masyarakatnya, yang selalu dilandasi nilai-nilai toleransi, gotong-royong, tenggang rasa, dan sebagainya. Sedangkan hasil karya masyarakat Jawa bisa dilihat dari benda-benda kongkret hasil ciptaan mereka, misalnya; candi Prambanan, candi Borobudur, patung atau arca yang ada di candi-candi tersebut, kain batik Yogya, ukiran-ukiran Jepara dan lain sebaginya, yang kesemuanya merupakan manifestasi wujud kebudayaan berupa sistem budaya, sistem sosial, serta unsur-unsur kebudayaan fisik.
Menurut Ir. Sujamto dalam bukunya “Refleksi Budaya Jawa; dalam Pemerintahan dan Pembangunan” ciri-ciri utama budaya Jawa selalu bersifat religius, non-doktriner, toleran, akomodatif, dan optimistik. Meskipun tidak mencakup secara keseluruhan paling tidak rumusan tersebut bisa dianggap sebagai yang paling pokok, yang secara keseluruhan ataupun sendiri-sendiri selalu memberi warna pada pertumbuhan dan perkembangan dari semua unsur kebudayaan yang ada (Sujamto, 1997; 33). Dan kemudian ciri-ciri utama tersebut telah melahirkan corak, sifat dan kecenderungan yang khas bagi masyarakat Jawa, diantaranya adalah;
  • Percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai Sangkan Paraning Dumadi, dengan segala sifat, kekuasan dan kebesaranNya, yang merupakan hasil dari sifat religius yang mereka miliki; keyakinan bahwa manusia hidup di dunia ini bukan atas kehendaknya sendiri, akan tetapi ada kekuatan besar yang lebih hakiki di luar manusia ataupun makhluk ciptaan lainnya, yang mengendalikan segala sesuatu yang ada di alam semesta ini.
  • Bercorak idealistis, percaya kepada sesuatu yang bersifat immaterial (bukan kebendaan) dan hal-hal yang bersifat adikodrati (supernatural) serta cenderung ke arah mistik, yang merupakan perpaduan antara sifat religius dan optimistik mereka; kesadaran dan keyakinan akan kebesaran Tuhan yang telah menciptakan manusia dan makhluk-makhluk selain manusia yang digariskan untuk hidup saling berdampingan dan senantiasa menjaga keharmonisan hidup masing-masing.
  • Mengutamakan cinta kasih sebagai landasan pokok hubungan antar manusia, yang merupakan perpaduan antara sifat toleran, akomodatif, dan optimistik mereka; kesadaran mereka bahwa manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang tidak akan mampu hidup sendiri tanpa barinteraksi dengan yang lainnya. Mereka meyakini rasa cita kasih yang terwujud dalam rasa toleransi, saling menghormati, dan tenggang rasa atau tepo seliro merupakan kunci utama untuk menjaga keharmonisan hubungan mereka demi terwujudnya kehidupan bermasyarakat yang rukun, damai, guyub serta gemar bergotong-royong.
  • Bersifat konvergen (menyatu), universal dan terbuka, yang merupakan perpaduan antara sifat toleran dan akomodatif. Hal ini berdasar pada sikap mereka yang tidak over-fanatic terhadap sesuatu, sehingga mereka bisa menerima dengan hati terbuka segala bentuk pengaruh yang datang dari luar kebudayaan mereka. Akan tetapi dengan masuknya pengaruh baru tersebut bukan berarti mereka lantas kehilangan identitas kejawénnya. Bahkan identitas itu justru akan turut mamberikan warnanya tersendiri ke dalam pengaruh yang datang dari luar tersebut. Identitas kejawén mereka akan selalu terjaga dan akan tetap tercermin dalam segala bentuk tingkah-laku dan aktivitas hidup mereka.
  • Cenderung pada simbolisme; yang merupakan wujud dari sifat religius serta didukung oleh perilaku “lebih mengutamakan rasa ketimbang rasio” yang mereka miliki. Dalam hal ini religius memiliki cakupan makna yang lebih luas, tidak hanya berkutat pada keyakinan mereka terhadap Tuhan saja, tapi juga mencakup sisi-sisi spiritualitas dan batin mereka. Ketika mereka mendapati sesuatu, tanggapan yang paling dominan muncul adalah dari sisi spiritualitas dan batin mereka, sehingga menghasilkan perilaku lebih mengutamakan rasa dari pada rasio tersebut. Dan kecenderungan pada simbolisme di atas lahir dari peristiwa ini; yaitu ketika masyarakat Jawa sudah terlalu biasa menanggapi sesuatu dengan batin mereka, maka mereka akan terbiasa pula untuk membuat simbol-simbol, karena untuk memahami simbol-simbol tersebut membutuhkan penghayatan batin yang mendalam (Sujamto. 1997; 137).

Meskipun tidak mencakup seluruh sifat dan kecenderungan masyarakat Jawa, akan tetapi kiranya uraian di atas dirasa cukup menjembatani untuk menuju pembahasan selanjutnya.
Sebagaimana yang kita ketahui, Jawa memiliki kebudayaan yang begitu kaya sebagai wujud dari perjalanan sejarah yang panjang. Kebudayaan tersebut mencakup berbagai aspek kehidupan masyarakatnya yang kesemuanya terangkum dalam unsur-unsur kebudayaan itu sendiri. Prof. Dr. Koentjaraningrat menyebutkan unsur-unsur kebudayaan itu ada tujuh; bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian hidup, sistem religi, dan kesenian (Koentjaraningrat. 2000; 203-204).
Sebagai kelompok yang selalu cenderung pada simbolisme, masyarakat Jawa menempatkan kesenian mereka pada kedudukan yang tinggi. Terbukti dari banyaknya kesenian-kesenian yang memiliki nilai luhur dan sakral dalam budaya mereka seperti halnya wayang. Wayang memiliki nilai yang benar-benar luhur bagi mereka. Hal itu bisa dilihat dari peran dan fungsinya di tengah-tengah kehidupan mereka. Menurut R.M. Soedarsono, sebagai salah satu bentuk pertunjukan tradisional wayang mamiliki tiga fungsi; sebagai sarana ritual, sebagai hiburan pribadi, dan sebagi penyajian estetis (selengkapnya bisa dibaca dalam bukunya yang berjudul “Seni Pertunjukan di Era Globalisasi”). Sedangkan untuk peranan wayang itu sendiri tergantung pada perspektif yang kita ambil. Dalam sudut pandang politik misalnya, wayang bisa memiliki peranan yang sifatnya politis; dengan menjadikannya sebagai media legitimasi kekuasaan, media propaganda politis, atau bahkan media profokasi. Sedangkan dalam sudut pandang pendidikan, wayang bisa mempunyai nilai yang lebih luhur; dengan menjadikannya sebagi media pengajaran dan penanaman nilai-nilai moral bagi generasi muda, atau bahkan sebagi media yang bisa menumbuhkan kecintaan mereka terhadap kebudayaan daerah.
Representasi Budaya Jawa dalam Tokoh Rama
Kita semua tentu tahu dalam dunia pewayangan teradapat sebuah kisah yang dikenal dengan nama “Ramayana”. Kisah ini sering dijadikan sebagai cerita pakem dalam sebuah pagelaran wayang. Sejalan dengan esensi dari setiap cerita pewayangan; selalu mengetengahkan perlawanan antara kebenaran dan kebatilan yang diakhiri dengan kemenangan pihak yang benar atas yang batil, kisah ini mengangkat perlawanan antara tokoh Rama (reinkarnasi Betara Wisnu) dari pihak yang benar dan Rahwana dari pihak yang batil dengan kemenangan Rama di akhir ceritanya.
Kisah Ramayana ini diyakini bersumber dari sebuah karya sastra India abad IV yang berjudul “Ravanavadha” atau “Kematian Rahwana” (hasil karya pujangga Bhatti yang sering disebut “Bhattikavya”) yang kemudian dibawa ke Indonesia seiring dengan masuk dan berkembangnya budaya Hindu di Tanah Air, khususnya Jawa ratusan tahun yang lalu. Setelah mengalami proses penyesuaian terhadap budaya lokal (Jawa) kisah tersebut kemudian menjadi bagian dari khasanah kesusastraan Jawa yang dikenal dengan “Serat Kakawin Ramayana”
Sebagai bagian dari kesusastraan Jawa cerita Ramayana tidak bisa terhindar dari sistem simbolisme budaya Jawa. Banyak sekali nilai-nilai etis, norma ataupun moral yang tercermin dari sistem simbol yang terdapat dalam setiap karakter tokohnya ataupun alur ceritanya. Hal ini bisa kita lihat dalam karakter tokoh Rama. Sebagi tokoh utama yang berpihak pada kebenaran, Rama memiliki sifat dan karakteristik yang mencerminkan nilai-nilai luhur budi-pekerti dalam ranah hidupnya sebagai makhluk sosial, misalnya; ketika kita melihatnya sebagai sosok anak yang patuh dan memiliki bakti penuh kepada orang tuanya, atau sebagai seorang suami yang bertanggung jawab penuh dan mencintai istrinya, atau bahkan sebagai seorang pemimpin yang bertanggung jawab dan mengayomi rakyat serta bawahannya. Akan tetapi ketika kita berbicara mengenai karakter Rama dalam ranah budaya, lebih spesifik lagi budaya Jawa, yang kita temukan tidak hanya nilai-nilai budi pekerti seperti di atas, tetapi kita juga akan bisa melihat representasi karakteristik budaya Jawa dalam perilaku Rama yang tersaji dalam kisah Ramayana tersebut.
Sebagaimana disebutkan di atas ciri utama budaya Jawa selalu bersifat religius, non-doktriner, toleran, akomodatif, dan optimistik. Sifat religius yang bisa diamati dari tokoh Rama adalah; sekalipun ia marupakan seorang titisan Dewa, Rama mengerti benar bahwa ia adalah seorang manusia yang mampercayai segala sesuatu yang ada di alam semesta ini berdasarkan kehendak para Dewata, oleh karenanya ia selalu mempersembahkan pemujaannya terhadap mereka. Bahkan diceritakan ketika menjalani masa pembuangannya, Rama beserta istri dan saudaranya selalu mengunjungi tempat-tempat pemujaan dan melakukan berbagai upacara. Mereka memuja Dewa Indra (penguasa mega, mendung, dan hujan), Dewi Agni (penguasa api), Dewa Kuwera (pengusa kekayaan), Dewa Wiwasata (penguasa langit biru), Dewa Bayu (penguasa angina), Dewa Waruna (penguasa lautan), dan juga Dewa Yama (penguasa kematian). Selain itu mareka juga megunjungi para pertapa untuk meminta petuah dan nasihat sebagi bekal kesempurnaan hidup.
Sifat non-doktriner dalam hal ini mungkin bisa kita artikan sebagai sifat yang lebih menghargai kebebasan atau bisa juga diartikan sebagai sifat yang demokratis. Nilai-nilai demoktaris seperti itu yang bisa kita lihat dalam karakter Rama adalah ketika ia menjalani hari-harinya dalam pengasingan; setiap ia menghadapi kesulitan atau permasalahan, ia selalu mendiskusikan pemecahannya dengan adik dan istrinya. Ia selalu menjadikan musyawarah sebagai alternatif utama dalam penyelesaian permasalahan-permasalahannya. Baik ketika ia menjadi seorang kakak, suami, ataupun pemimpin ia tidak pernah memaksakan pendapatnya. Bahkan diceritakan, sebelum penyerangan ke kerajaan Alengka, Rama beserta para kesatria Kiskenda mengadakan sebuah musyawarah untuk menentukan strategi peperangan yang akan digunakan. Dalam diskusi tersebut setiap kesatria bebas memberikan sumbangsih pemikiran dan pendapatnya masing-masing. Hal itu menunjukkan dengan bertindak non-doktriner, Rama menghormati segala bentuk pendapat ataupun pemikiran di luar dirinya.
Sifat toleran budaya Jawa dalam hal ini bisa kita kaitkan dengan sifat budaya Jawa yang lain; akomodatif. karena bisa dikatakan sikap akomodatif merupakan sikap lanjutan dari sebuah toleransi. Dan hal itu bisa kita lihat dalam karakter tokoh Rama ketika ia menerima Wibisana (adik Rahwana) setelah Wibisana tersebut menentang kemauan kakaknya dan diusir dari kerajaan Alengka. Meskipun Rama mengetahui latar belakang Wibisana (sebagai kaum Raksasa) akan tetapi ia tetap menerimanya bahkan menganggapnya sebagai saudara. Karena secara tegas dia telah menentukan sikapnya untuk tetap berpegang teguh pada kebenaran. Rama sangat menghargai hal tersebut, dan karenanya ia tidak mempermasalahkan dari mana Wibisana itu berasal
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata optimis berarti “orang yang selalu berpengharapan (berpandandangan baik/positif) dalam menghadapi segala hal” (T.P. Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1988). Dari sini kata optimistis bisa kita artikan sebagai sikap yang dilandasi pandangan positif dalam menghadapi segala hal. Dengan pemaknaan tersebut, kita bisa melihat nilai optimistis yang tercermin dari tokoh Rama yaitu ketika Bharata, adiknya, menyusulnya ke hutan dengan membawa berita kematian Ayahandanya. Dalam kesempatan itu juga Bharata menginginkan agar kakaknya tersebut bersedia kembali ke kerajaan dan menjadi Raja. Akan tetapi Rama menolak, karena ia tidak ingin menghianati sumpah Ayahandanya, dan tidak ingin menimbulkan perpecahan dalam keluarganya. Lebih dari pada itu, sebenarnya ia mengerti bahwa ini merupakan takdir yang sudah digariskan untuknya dan ia percaya takdir tersebut akan membawa kebaikan dimuka bumi; ketika ia harus bertarung dan kemudian mengalahkan Rahwana. Karena tujuan utama Batara Wisnu bereinkarnasi menjadi Rama adalah untuk menghentikan keangkara murkaan Rahwana dan mewujudkan kembali kedamaian di muka bumi ini (semua informasi tentang tokoh Rama dalam bab II ini berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Drs. Bambang Purnomo, hari minggu, 14 Desember 2008, jam 20.00 wib. Di Taman Budaya Yogyakarta, dan dengan Bapak Parjaya S.Sn. hari Rabu, 17 Desember 2008, jam 15.00, melalui sebuah interview via telephon).

Penutup
Uraian di atas menunjukkan betapa erat hubungan antara budaya Jawa dan unsur-unsurnya, dalam hal ini adalah kesenian, yang diwakili oleh kesenian tradisional wayang. Dalam tokoh pewayangan, khususnya Rama, terdapat banyak sekali nilai-nilai budi-pekerti yang bisa kita ambil sebagai bekal dalam menjalani kehidupan, yang kesemuanya itu merupakan perwujudan nilai-nilai luhur budaya Jawa.
Nilai-nilai seperti religius, non-doktriner, toleran, akomodatif, ataupun optimistik pada dasarnya bersumber pada satu gagasan utama budaya Jawa itu sendiri yang berupa etika keselarasan. Etika keselarasan ini mengajarkan masyarakat Jawa untuk selalu menjaga dan menghindari konflik kehidupan bersama, dengan merelatifkan pendiriannya sendiri demi keutuhan yang menyeluruh, dengan berlaku sopan dan tenang, dan dengan mengembangkan sikap hati yang bersedia untuk melepaskan sesuatu yang justru akan menghalanginya dalam usaha mencapai makna kehidupan yang sebenarnya (Magnis-Suseno, Franz. 1991; 80).
Untuk itu merupakan sebuah langkah yang bijak bagi kita, yang sekarang ini hidup dalam zaman globalisasi, sebuah zaman yang sudah jauh meninggalkan konsep kerselarasan, untuk berkaca kembali dan merenungi kearifan budaya lokal yang dengan etika keselarasannya diharapkan akan bisa mewujudkan kualitas hidup yang lebih baik.

Daftar Pustaka
Koentjaraningrat. 2000. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta; PT Rineka Cipta.
Magnis-Suseno, Franz. 1991. Wayang dan Panggilan Manusia. Jakarta; PT Gramedia Pustaka Utama.
Soedarsono, R.M. 1998. Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Sujamto. 1997. Refleksi Budaya Jawadalam Pemerintahan dan Pembangunan. Semarang; Dahara Prize.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta; Balai Pustaka.


Daftar Nara Sumber
1. Nama : Drs. Bambang Purnomo
Alamat : Blok Patuk, NG.1/588, Yogyakarta.
Usia : 59 tahun.
Keterangan :
  • Anggota Forum Pelestari Budaya Kabupaten Sleman.
  • Anggota Penasehat PEPADI.
  • Penasehat Macopat Sekar Manunggal Sleman Sembada.
  • Ketua Paguyuban Abdi Dalem Keraton Yogyakarta Wilayah Kabupaten Sleman.
2. Nama : Parjaya, S.Sn
Alamat : Jomegatan, Ngestiharjo, Kasihan, Bantul, Yogyakarta.
Usia : 52 tahun.
Keterangan :
  • Tenaga Pengajar “Widya Iswara” di P4TK Seni Budaya Yogyakarta.
  • Dalang Wayang Kulit Yogyakarta.

3 komentar: