Senin, 04 November 2013

Suara Rendra, Suara Kemanusiaan


PENDAHULUAN
Menurut S. Suharianto (1982: 11) dalam bukunya yang berjudul “Dasar-dasar Teori Sastra”, karya sastra merupakan hasil dari pengamatan sastrawan ketika ia bersentuhan dengan kehidupan sekitarnya. Agaknya, pendapat tersebut memang dirasa cukup untuk mewakili apakah sebenarnya hakekat karya sastra. Karya sastra sebagai hasil merupakan final result dari segala gejolak jiwa, pergulatan pikiran dan emosi seorang sastrawan, yang di dalamnya terkandung dunia kecil ciptaan sastrawan, yang berupa dunia ide, gagasan, dan kecenderungan-kecenderungan emosional terhadap segala sesuatu yang ia temui dalam kehidupannya, baik secara langsung atau tidak langsung.
Proses penciptaan karya sastra ini menempatkan sastrawan sebagai seorang prominent figure, di mana segala ide, pemikiran dan emosinya telah ditransformasikan dan diaplikasikan ke dalam bentuk yang kongkret , tidak hanya berupa tulisan ataupun tuturan (speech) biasa, melainkan lebih pada karya-karya yang mempunyai nilai-nilai estetika di dalamnya.
Mengenai hubungan antara sastrawan dan karyanya, dalam paper yang berjudul “Suara Si Burung Merak, Suara Kehidupan” ini, penulis akan mencoba untuk menyajikan ulasan-ulasan mengenai salah seoranga sastrawan yang telah menjadi salah satu ikon penting dalam dunia kesusastraan Indonesia. Dalam hal keterkaitan dirinya dan karya-karyanya dengan problem-problem sosial. Dan figur tersebut tidak lain adalah W.S. Rendra. Yang beberapa waktu lalu, tepatnya tanggal 4 Maret 2008 telah menerima anugerah gelar Doktor Honoris Causa (DR. Hc.) yang diberikan oleh Universitas Gadjah Mada sebagai wujud penghargaan atas sumbangsihnya terhadap dunia kesusastraan Indonesia selama ini. Sebuah gelar tertinggi dalam dunia pendidikan, yang menunjukkan bahwa pemangkunya telah dianggap sebagai seorang yang ahli dalam bidanganya. Selain itu, dalam kesempatan yang lain, Fakultas Ilmu Budaya UGM juga menggelar sebuah dialog budaya yang bertema “Sumbangan Pemikiran W.S. Rendra bagi Kemanusiaan dan Kebudayaan Kontemporer”, yang tidak lain juga dimaksudkan sebagai bentuk apresiasi terhadap peranan Rendra tersebut.
Akan tetapi, terlepas dari kebesaran namanya, Rendra juga merupakan seorang manusia biasa, manusia yang hidup sebagai anggota dalam kelompok masyarakatnya, manusia yang memiliki rasa solidaritas untuk mengangkat martabat manusia yang lain, yang disebut dengan rasa kemanusiaan. Sedangkan sebagai sastrawan, ia adalah seseorang yang selalu berekspresi dalam karya-karyanya. Dan atas dasar eksistensi dirinya inilah yang kemudian memunculkan pertanyaan; apakah sebenarnya hakekat keberadaan karya-karya Rendra di tengah-tengah kehidupan masyarakat.

PEMBAHASAN
Willybordus Soerendra Bhawana Rendra, nama lengkap dari W.S. Rendra, yang lebih akrab dipanggil Rendra, Willy, atau Mas Willy. Lahir di Solo pada tanggal 7 November 1935. Ayahnya, bapak Soegeng (Brotoatmojo) adalah seorang guru yang mengajar Bahasa Indonesia dan Jawa Kawi. Ibunya, R. Ay. Ismadilah, ketika muda adalah seorang penari Bedaya Srimpi di Keraton Yogyakarta. Baik Ayahnya ataupun Ibunya telah memberikan pengaruh yang besar baginya, yang mana keduanya sangat berbeda peranannya; Ayahnya yang selalu mengajarkan ilmu-ilmu umum dan modern, seperti: sejarah, ilmu jiwa, biologi, dsb. Telah mengarahkan pemikiran Rendra ke arah pemikiran modern. Berbeda dengan Ibunya, atas bantuan Mas Janadi, sejak umur lima tahun, Rendra diajarkan pendidikan-pendidikan kejawen, yang di
sebut dengan Olah Kapujanggan, yang pada akhirnya membawa jiwa Rendra pada kesadaran-kesadaran kejawaan (lihat Rendra, 2001; 161, dan Soemanto, 2008;1-2).
Perpaduan inilah yang kemudian memiliki andil besar pada sudut pandang dan cara berpikir Rendra terhadap permasalahan-permasalahan sosial, yang pada akhirnya mempengaruhi karirnya sebagai sastrawan. Sebagaimana disebutkan di atas, dalam dunia kesusastraan Indonesia, Rendra merupakan salah seorang ikon penting khususnya dalam bidang kesenian teater dan puisi. Bahkan dalam hal ini ia telah berhasil memposisikan dirinya sebagai tokoh sentral dalam proses laju teater Indonesia ke arah pembaruan. Yang mana dunia teater Indonesia sebelumnya didomonasi oleh bentuk pertunjukan realisme –sebuah pertunjukan yang dikembengkan oleh seniman-seniman berpendidikan sekolah ataupun universitas, yang pertunjukannya didasarkan pada naskah-naskah terjemahan dan naskah drama realisme Indonesia, dan proses pertunjukannya juga berdasar pada prinsip pola seni peran film yang bergaya realis-naturalistik (Yudiaryani, 2008;1-2).
Peranan pentingnya tersebut bisa kita lihat melalui lahirnya sebuah inovasi baru dalam dunia teater Indonesia. Sebuah pertunjukan teater non-verbal dan non-linier, yang kemudian dikenal dengan nama “Mini Kata” pada tahun 1968. Pertunjukan teater tersebut dipentaskan tanpa naskah drama, hanya dengan sedikit kata dan hanya mengutamakan penggambaran sebuah situasi secara langsung melalui gerak tubuh sang aktor yang memiliki fariasi dalam pemaknaannya (Yudiaryani, 2008;1).
Sebagai seorang sastrawan dan seniman, Rendra sangat menghargai kesenian. Ia menganggap, kesenian merupakan sesuatu yang sangat bernilai sebagaimana emas ataupun permata, apabila ia murni. Seni bisa bertemakan apa saja: filsafat, keagamaan, masalah sosial, politik, dsb. Tapi sifatnya harus tetap seni. Seni tidak mengutamakan kepuasan naluri dan panca indera semata. Tetapi mengutamakan olah kesadaran batin dan pikiran (Rendra, 2001; 99-100). Oleh karena itu dalam setiap karya-karyanya kita bisa melihat kemurnian yang terpancar sebagai hasil dari olah kesadaran batin dan pikirannya. Dan tema yang menjadi objek olah kesadaran batin dan pikirannya tersebut kebanyakan adalah masalah-masalah sosial, khususnya
masalah kemanusiaan. Hal tersebut bisa kita lihat dalam salah satu sajak ciptaannya yang berjudul “Njanjian Angsa”. Sebuah sajak yang bercerita mengenai perjalanan seorang pelacur yang terbuang. Rendra menggambarkan betapa memprihatinkannya nasib seorang pelacur. Ketika ia terdesak masalah kemiskinan dan memutuskan untuk menjadi seorang pelacur –karena susah mencari pekerjaan- ia harus terusir dari
kelompok masyarakatnya. Dan setelah ia menginjak usia lanjut, mulai kehilangan daya tariknya, dan penyakit-penyakit mulai menghinggapi tubuhnya, sekali lagi ia harus terusir dari kelompoknya –lingkungan prostitusi-. Ia menjadi manusia tertolak di manapun ia berada, bahkan ketika ia ingin mengakui segala dosa-dosanya, ia pun harus tertolak di rumah Tuhan (Rendra, 1971; 29-37).

.......................................
Dan muka pastor mendjadi merah padam.
Ia menuding Maria Zaitun.
“ Kamu galak seperti matjan betina.
Barangkali kamu akan gila.
Tapi tidak akan mati.
Kamu tidak perlu pastor.
Kamu perlu dokter djiwa. (Rendra, 1971;32)

Dari sini kita bisa melihat bahwa perhatian Rendra terhadap masalah-masalah sosial sangatlah mendalam; bahwa ia telah mencapai titik di mana ia mampu menyelami dan memahami pikiran serta emosi seorang manusia, yang dalam struktur kemasyarakatan tergolong dalam kelompok marjinal (kelompok orang-orang yang tersingkir). Selain sajak tersebut masih banyak sekali karya-karya Rendra yang menunjukkan betapa dekat dirinya dengan kehidupan sosial masyarakat, misalnya dalam sajaknya yang berjudul “Sajak Burung-burung Kondor” (1973), “Orang – orang miskin” (1978), “Bersatulah Pelacur- pelacur Kota Jakarta” (1971), dsb. Kecuali masalah-masalah sosial tersebut, hal-hal lain yang tidak luput dari perhatian Rendra adalah masalah lingkungan hidup, sebagaimana yang ia tunjukkan dalam karyaanya yang berjudul “Kesaksian Tahun 1967” (1971) yang menggambarkan kerakusan manusia ketika mengeruk kekayaan bumi, demi kepentingan pribadi, mereka menggali dan terus menggali tanpa memperhatikan keseimbangan lingkungan dan ekosistem di sekitarnya.

Dunia jang akan kita bina adalah dunia badja
katja dan tambang-tambang jang menderu.
Bumi bakal tidak lagi perawan
tergarap dan terbuka
sebagai lonte jang merdeka.
Mimpi jang kita kedjar, mimpi platina berkilatan.
Duni jang kita indjak, dunia kemelaratan.
Keadaan jang menjekap kita, rahang serigala jang menganga.
..........................................
(Rendra, 1971;20).

Sebagai seorang budayawan, Rendra selalu mendasarkan segala tindakan dan
pemikirannya –baik yang bersifat pemberontakan, simpati, kritik, dsb. pada penghargaannya terhadap sebuah unsur penting dalam kebudayaan: daya hidup, dan pada perlawananya terhadap unsur pengganggu daya hidup: daya mati. Sejak manusia dilahirkan, dalam dirinya telah melekat dua daya, yang disebut
daya hidup dan daya mati. Dalam kaitannya dengan kebudayaan, daya hidup adalah usaha manusia untuk memperluas, memperbaiki dan memperindah kemungkinan-kemungkinan dari keinginan-keinginannya. Daya hidup merupakan daya yang paling penting jika dibandingkan dengan daya-daya yang lain: daya politik, daya sosial, daya seni, dsb. Tanpa daya hidup daya-daya lain tersebut tidak ada artinya, mereka akan beku, mati dan akhirnya sirna. Sedangkan daya mati berarti mengakhiri segala daya hasil dari seorang manusia di dunia. Daya mati selalu bisa menggangu unsur-unsur daya hibup dan menimbulkan kerusakan kesejahteraan hidup, ketika manusia tidak waspada. Gangguan daya mati tersebut bisa berupa penyakit yang merusak daya akal, daya organisasi, daya tumbuh kembang, dan daya cipta manusia (dalam Rendra,2001; 16-17).
Sebagaimana pada diri manusia secara individu, di dalam masyarakat, sebagai kumpulan dari manusia-manusia, juga terdapat daya hidup dan daya mati. Daya mati dalam masyarakat bisa berupa: tiranisme, feodalisme, kolonialisme, korupsi, anarki, kekolotan, dsb. yang kesemuanya merupakan penyakit di dalam masyarakat manusia. Karena hal-hal tersebut bisa merusak daya akal, daya organisasi, daya mobilitas daya
tumbuh kembang, daya cipta, dan daya inisiatif anggotanya. Sehingga membuat mereka menjadi manusia bersumber daya rendah (dalam Rendra, 2001;18-19).
Dalam tulisannya yang berjudul “Renungan Dasar tentang Kebudayaan” (dalam Rendra, 2001; 50-51), ia menyebutkan bahwa mengolah daya hidup adalah hal yang sangat penting dalam membina kesejahteraan manusia, dan ancaman terhadap terhadap daya hidup adalah hal yang merugikan kesejahteraan manusia.
Karena kebudayaan merupakan usaha manusia untuk meningkatkan kesejahteraan, maka adalah tugas kebudayaan yang pertama dan utama untuk menjaga daya hidup. Atas dasar komitmen tersebut, maka ketika Rendra menaggapi masalah-masalah sosial, kemasyarakatan atau politik, ia selalu menggunakan paradigma kesenian dan kebudayaan (dalam Rendra, 2001;19-20), yaitu melalui bait-bait sajak atau adegan- adegan drama dalam teaternya.

KESIMPULAN
Sebagaimana disebutkan di atas, Rendra adalah seniman yang memiliki komitmen untuk membela dan memperjuangkan daya hibup, baik daya hidup manusia, masyarakat, ataupun daya hidup alam. Ketika daya hidup mereka mendapat gangguan dari daya mati, yang menimbulkan kerusakan daya akal, daya organisasi,
daya mobilitas daya tumbuh kembang, daya cipta, dan daya inisiatif mereka, sajak- sajak (karya-karya) Rendra selalu muncul untuk mewakili pemberontakan terhadap gangguan-gangguan daya mati tersebut. Oleh karena itu, bisa dikatakan setiap karya-karya ciptaan Rendra merupakan suara-suara pembelaan terhadap kehidupan manusia, masyarakat dan alam.

DAFTAR PUSTAKA
Rendra, W.S. 2001. Rendra, Penyair dan Kritik Sosial. Yogyakarta; KEPEL
Press.
____________.1971. Blues untuk Bonnie. Pasuketan, Djatiwangi, Tjirebon;
Tjupumanik.
Soemanto, Bakdi. 2008. Rendra: Sumbangannya Kepada Kemanusiaan dan
Kebudayaan Kontemporer. (Makalah yang Disampaikan dalam Dialog Budaya
Sumbangan Pemikiran W.S. Rendra bagi Kemanusiaan dan Kebudayaan
Kontemporer, FIB-UGM, Yogyakarta).
Suharianto, S.1982. Dasar-dasar Teori Sastra. Surakarta; Widya Duta.
Yudiaryani. 2008. Membaca Kehadiran Rendra dan Mini Kata. (Makalah
yang Disampaikan dalam Dialog Budaya Sumbangan Pemikiran W.S. Rendra bagi
Kemanusiaan dan Kebudayaan Kontemporer, FIB-UGM, Yogyakarta).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar