Minggu, 10 November 2013

Grebeg Maulud dan Sekaten Yogyakarta


PENDAHULUAN

PENGANTAR

Yogyakarta, secara administrasi berstatus sebagi propinsi DIY. (Daerah Istimewa Yogyakarta). Luas wilayahnya sekitar 3.185,80 km2; terdiri atas empat daerah Kabupaten dan satu Kotamadya: Kabupaten Kulonprogo, Kabupaten Gunung Kidul, Kabupaten Sleman, dan Kotamadya Yogyakarta (Murniatmo, 1993/1995; 11).

Yogyakarta dikenal sebagai daerah budaya Jawa -karena penduduknya didominasi oleh suku Jawa- dan juga sebagai daerah pariwisata. Dalam bidang kepariwisataan, Yogyakarta dipilih sebagai daerah tujuan wisata kedua setelah Bali, dimana hal tersebut didukung oleh oleh komponen-komponen yang merupakan potensi pariwisata. Menurut Robert W.Mc. Intash ada lima kategori pokok komponen pariwisata:

1. Natural resources :komponen yang berhubungan dengan keadaan alam.
2. Infrastruktur :segala jenis bangunan yang ada di atas permukaan maupun di bawah tanah.
3. Transportasi :komponen yang berhubungan dengan arus lalu-lintas manusia dan barang.
4. Superstruktur :segala fasilitas di atas tanah yang mendukung pariwisata.
5. Hospitality :komponen dari segi pembawaan atas sosial human

yang berakar pada culture resources (dalam Murniatmo, 1993/1994; 14). Dari konsep-konsep di atas, secara garis besar Yogyakarta dianggap mempunyai potensi fisik dan tata ruang yang memadai sebagai faktor pendukung terhadap kepariwisataaan. Hal tersebut dapat dilihat dari objek-objek wisata yang ada, baik objek wisata alam: Kaliurang, pantai Parang Tritis, dan sebagainya, maupun objek wisata budaya: Sekaten, upacara Garebeg Maulud, dan sebagainya.
Sedangkan prasarana penunjang pariwisata Yogyakarta bisa dilihat dari tersedianya fasilitas transportasi baik udara maupun darat, dan juga tersedianya hotel-hotel berbintang, losmen, rumah sakit, tempat makan dan minum, serta pusat-pusat souvenir.
Dalam lingkup pembahasan kepariwisataan Yogyakarta ini, melalui sebuah observasi yang bertema “Perayaan Sekaten di Yogyakarta dan Pariwisata”, dengan menjadikan upacara Garebeg Maulud yang digelar di Keraton Yogyakarta, tanggal 20 Maret 2008, jam 06.30 – 11.30 sebagai studi kasus, penulis ingin memahami lebih dalam mengenai keterkaitan sebuah tradisi budaya dengan dunia pariwisata, yang akan penulis tuangkan dalam sebuah paper yang berjudul “Sekati dan Gununga; Produk Wisata Yogyakarta” ini.

PERMASALAHAN

Budaya atau kebudayaan sangat erat sekali hubungannya dengan pariwisata. Dimana keduanya memiliki hubungan timbal balik; di satu sisi, budaya merupakan objek wisata yang menarik bagi wisatawan, di sisi lain, pariwisata merupakan sarana pengenalan budaya bangsa (bagi wisatawan asing) atau budaya daerah (bagi wisatawan domestik). Dan dalam tradisi Sekaten, kedua hal tersebut sangat jelas sekali terlihat. Di mana sebagai sebuah sisitem budaya, Sekaten telah mampu merepresentasikan sisitem-sistem yang berlaku dalam kehidupan masyarakatnya pendukungnya. Akan tetapi yang menjadi pertanyaan adalah bagaimanakah sebenarnya makna Sekaten itu sendiri bagi masyarakat Yogyakarta, selaku pemangku tradisi Sekaten tersebut dan apakah kompensasi yang dapat diperoleh dalam usaha pelestariannya.

PEMBAHASAN

A. OBJEK-OBJEK WISATA

Budaya merupakan sikap, kebiasaan, tradisi, yang hidup dan terpelihara di tengah-tengah masyarakat pendukungnya dan tercermin dalam tingkah laku masyarakat pendukungnya. Hal ini sekaligus mencerminkan nilai-nilai yang dianut dan dipelihara oleh masyarakat yang bersangkutan (Zamora, 2003; 150).
Akan tetapi mengingat bahwa kehidupan masyarakat tidaklah bersifat tetap, melainkan terus maju sejalan dengan perkembangan zaman, maka tidak dapat dihindarkan adanya budaya daerah yang mungkin lenyap dari lingkungan masyarakatnya. Tapi di lain pihak, ada juga yang terpelihara dalam wujud yang sama atau dengan bentuk lain tapi dengan kandungan yang sama. Adapun kemungkinan-kemungkinan tersebut adalah disebabkan oleh adanya intervensi budaya lain yang lebih kuat dan lebih banyak pendukungnya terhadap budaya yang lemah dan sedikit pendukungnya. Atas dasar kekhawatiran akan musnahnya budaya daerah akibat intervensi budaya di atas, maka upaya pelestarian budaya daerah secara apa adanya masih gigih dijalankan.pelestarian budaya daerah di sini dapat diartikan sebagai upaya untuk mempertahankan “keberadaan” suatu unsur atau sistem budaya tertentu dalam masyarakat, baik secara aktif –dalam artian, unsur budaya tersebut masih kita temui hidup dalam masyarakatdan masih digunakan dalam kehidupan sehari-hari-, maupun secara pasif –dalam artian, unsur tersebut masih bisa kita temui dalam suatu masyarakat namun ia tidak lagi hidup dalam masyarakat tersebut-, yang mana hal ini bisa berwujud dalam bentuk penyimpanan berbagai macam benda budaya di museum atau peninggalan sejarah seperti: benteng, masjid, candi,dan lain-lain (Zamora, 2003; 151). Akan tetapi disamping pelestarian, perlu juga diadakan pengembangan terhadap suatu unsur budaya, baik berupa tarian, ritual keagamaan, upacara adat perkawinan, dan sebagainya, agar bisa mempunyai daya tarik dan mempunyai nilai jual. Selain itu, upaya tersebut tidak harus ditujukan pada unsur budaya saja, tapi juga pada masyarakat pendukungnya.
Pembangunan dan pembinaan terhadap warisan budaya harus mampu mengembangkan cipta,rasa, dan karsa dalam rangka pelestarian nilai-nilai budaya serta kesetia kawanan sebagai identitas diri bagi masyarakat yang bersangkutan. Berdasarkan UUD ’45, pasal 32, pemerintah daerah berkewajiban untuk memajukan/melestarikan kebudayaan yang ada di daerahnya masing-masing. Hal ini diperkuat dengan diberlakukannya UU No. 2, tahun 1999, tentang Pemerintah Daerah, dan PP No. 25, tahun 2000, tentang kewenangan Pemerintah dan kewenangan Propinsi serta kewenangan Kabupaten/Kota sebagai daerah otonom (Zamora, 2003; 152), yang mana, hal tersebut memberikan keleluasaan kepada Daerah untuk mengatur dan menata daerahnya masing-masing, dan tentu saja kewenangan untuk melestarikan serta memanfaatkan kebudayaan yang ada di daerahnya masing-masing.
Hal ini disadari betul oleh pemerintah daerah Yogyakarta, yang melihat begitu besarnya potensi, baik alam maupun budaya yang ada di daerahnya, yang bisa dikembangkan sebagai objek wisata dan menjadi aset penting dalam upaya pemberdayaan masyarakatnya. Karena bisa dikatakan kebudayaan bangsa maupun daerah merupakan salah satu bentuk kekayaan bangsa. Jika dimanfaatkan dengan tepat, ia akan menjadi modal penting dalam pemasukan devisa negara, yang pada akhirnya akan berimbas pada proses pembangunan daerah tersebut. Sebagaimana disebutkan di atas, objek wisata yang ada di Yogyakarta tidak hanya meliputi objek wisata alam saja. Ada banyak sekali objek wisata yang bisa ditemui di Yogyakarta. Itulah sebabnya kenapa Yogyakarta dikenal sebagai “kota budaya”. Dalam hal ini objek wisata tersebut dapat diklasifikasikan dalam beberapa kelompok:
  • Bangunan-bangunan bersejarah; bangunan-bangunan yang memiliki nilai-nilai kesejarahan: Benteng Vredeburg, candi Prambanan, Keraton, dan sebagainya.
  • Kesenian rakyat; jenis-jenis kesenian rakyat yang hingga kini masih dikenal oleh masyarakat Yogyakarta: Ketoprak, Jathilan, Tayub, dan sebagainya.
  • Festifal kesenian; Festifal yang diadakan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan DIY setiap tahun: festifal Sendratari.
  • Upacara daur hidup; upacara atau selamatan yang dilakukan masyarakat Yogyakarta, yang menunjukkan identitas dirinya sebagai masyarakat suku Jawa: upacara Tedhak Siten, upacara Ruawatan, upacara perkawinan atau Panggih, dan sebagainya.
  • Acara tradisional; acara tradisional yang diadakan setahun sekali: Sekaten, Garebeg Maulud (Murniatmo, 1993/1994; 36-46), yang akan dibicarakan lebih lanjut.
B. SEKATEN DAN GAREBEG MAULUD

Berbicara mengenai Sekaten tidak bisa lepas dari berbicara mengenai Garebeg Maulud, begitu juga sebaliknya. Karena pada dasarnya, keduanya berada dalam satu kesatuan rangkaian upacara adat. Sekaten merupakan sebuah acara yang dipersiapkan untuk menyambut Garebeg Maulud. Ia diadakan tujuh hari menjelang Garebeg Maulud (tanggal 5-11 bulan Maulud, menurut penanggalan Jawa). Dan Garebeg Maulud sendiri merupakan acara puncak sekaligus penutup dari serangkaian acara Sekaten tersebut.

Sekaten, menurut sejarahnya merupakan salah satu media penyebaran Islam yang digalakkan oleh “Wali Songo” di masa Kerajaan Demak berkuasa. Meskipun Kerajaan Demak merupakan kerajaan Islam, akan tetapi kaum muslim pada waktu itu masih tergolong kaum minoritas. Mayoritas masyarakat pada waktu itu masih memeluk agama dan kepercayaan leluhur mereka (Hindu-Budha). Para Wali berpendapat, untuk menyebarkan Islam, tidak bisa memakai kekerasan atau perang, oleh karena itu mereka menggunakan pendekatan adat istiadat dan kesenian dalam penyebarannya. Salah seorang dari mereka “Sunan Kalijaga” melihat bahwa masyarakat Jawa pada waktu itu sangat menggemari pertunjukan-pertunjukan tradisional, seperti gamelan, wayang kulit, dan lain-lain. Oleh karenanya beliau meminta “Sunan Giri” -yang ahli dalam membuat gamelan- untuk membuat seperangkat gamelan yang kemudian dimainkan di halaman Masjid Agung Demak. Hal ini bertujuan untuk menarik perhatian masyarakat, agar mau datang ke Masjid Agung dan mendengarkan dakwah para Wali. Dan setelah mendengarkan dakwah tersebut, mereka yang ingin masuk Islam kemudian dituntun untuk mengucapkan dua kalimat syahadat –dua kalimat yang harus diucapkan seseorang ketika ingin masuk Islam-. Dari situlah awal mula penamaan “Sekaten” pada acara ini. Nama Sekaten berasal dari kata Syahadatain (bahasa Arab) yang artinya dua kalimat Syahadat. Setelah melihat perkembangan yang ada, kesenian ini kemudian dijadikan aganda tahunan Kerajaan Demak, yang diadakan tujuh hari menjelang hari lahir Nabi Muhammad -yang kemudian diperingati dengan mengadakan acara Garebeg Maulud-. Akan tetapi setelah Kerajaan Demak runtuh, tradisi ini kemudian diwarisi oleh Keraton Yogyakarta dan Surakarta, yang merupakan pewaris Kerajaan Mataram Islam. Dan tetap dilestarikan hingga saat ini.

Garebeg Maulud, menurut sejarahnya merupakan media kontinuitas dari tradisi raja-raja Jawa sebelum Kerajaan Demak berkuasa. Di mana mereka selalu mengadakan upacara-upacara pemberian sesaji kepada para leluhur mereka pada hari-hari tertentu atau bulan-bulan tertentu. Kemudian setelah raja Demak yang pertama berkuasa –Raden Patah-, beliau menghapuskan semua kebisaaan raja-raja Jawa yang bertentangan dengan ajaran (syariat) Islam tersebut. Akan tetapi, hal tersebut justru menyebabkan rakyatnya yang masih berpegang teguh dengan tradisi lama menjadi gelisah. Sehingga banyak terjadi kekacauan di mana-mana. Atas dasar tersebut, para Wali kemudian memberikan inisiatif kepada Raja untuk menghidupkan kembali tradisi-tradisi lama tersebut. Tapi dengan memasukkan nilai-nilai Islami di dalamnya menggantikan nialai-nilai lama yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, misalnya: pembacaan mantra-mantra diganti dengan pembacaan doa-doa Islami atau penentuan hari-hari penyelenggaraan upacara adat; dari hari-hari yang dianggap sakral oleh masyarakat pada waktu itu menjadi hari-hari besar Islam. Dari sinilah awal mula munculnya tradisi Garebeg Maulud, yang mana ia merupakan hasil modifikasi tradisi tersebut. Setelah Kerajaan Demak runtuh, sebagaimana yang terjadi pada tradisi Sekaten, tradisi ini pun kemudian diwarisi oleh Keraton Yogyakarta dan Surakarta, dan juga masih dilestarikan hingga saat ini.

Tujuan utama dari Garebeg Maulud itu sendiri adalah untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad. Itulah kenapa tradisi ini bernama Garebeg Maulud. Kata “Maulud” berasal dari bahasa Arab yang artinya “kelahiran” –dalam hal ini adalah kelahiran Nabi Muhammad (tanggal 12 Rabi’ul Awal, kalenderArab, 12 Maulud, kalender Jawa). Sedangkan kata Garebeg berasal dari bahasa Jawa yang artinya “mengerumuni atau mengelilingi”. Karena pada saat tersebut, Sultan disertai seluruh keluarganya hadir di hadapan bribu-ribu masyarakatnya, untuk bersama-sama memperingati hari lahir Nabi Muhammad tersebut (semua informasi mengenai Garebeg Maulud dan Sekaten tersebut berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu abdi dhalem: Bapak Kiyoso Kanowo, tanggal 16 Maret 2008, jam 10.00, di keraton Yogyakarta).

C. NILAI DAN MAKNA

Sebuah tradisi atau kesenian tradisional itu mempunyai peranan atau fungsi yang sangat penting bagi masyarakat pendukungnya; dilihat dari fungsi sosialnya, sebuah tradisi atau kesenian tradisional dirasa mampu untuk membangun dan memelihara solidaritas kelompok (Sujarno, 2003; 1). Hal tersebut jelas sekali terlihat dalam penyelenggaraan kedua tradisi di atas, khususnya pada tradisi Garebeg Maulud. Di mana ribuan masyarakat Yogyakarta yang tersebar di empat Kabupaten dan satu Kotamadya berbondong-bondong hadir di tempat yang sama untuk bersama-sama mengikuti hajatan tahunan yang diselenggarakan Raja yang mereka hormati dan mereka agung-agungkan.

Kedua hajatan tersebut, jika dicermati, miliki nilai sekaligus makna yang berbeda bagi setiap komponen pendukungnya. Bagi Sultan sendiri, yang merupakan raja bagi masyarakat Yogyakarta, hajatan Garebeg Maulud merupakan momentum di mana beliau mengungkapkan rasa syukurya atas segala karunia Tuhan yang telah diberikan kepadanya dan rakyatnya. Yang disimbolkan dalam bentuk penyajian Gunungan-gunungan (Gunugan Lanang, Wadhon, Darat, Pawuhan, Gepak serta Gunungan Bromo, yang hanya disajikan pada saat Garebeg Maulud tahun Dal) yang kemudian beliau bagikan kepada seluruh masyarakat yang menghadiri hajatan tersebut (sebenarnya diperebutkan) sebagai wujud kemurahan hati seorang raja untuk berbagi dengan rakyatnya. Atau dalam tradisi Sekaten hal ini dilambangkan dengan upacara Nyebar Udhik-udhik. Dimana pada momen ini Sultan menyebarkan kepingan-kepinan uang logam kepada para abdi dhalem yang sedang meminkan Gamelan Sekati. Gamelan pusaka yang hanya dibunyikan pada saat Sekaten yang terdiri dari dua set perangkat gamelan: Kiai Gunturmadu dan Kiai Nogowilogo.

Sedangkan bagi masyarakat Yogyakarta sendiri. kedua tradisi diatas merupakan sebuah momentum di mana mereka bisa mendapatkan berkah dari seorang Raja yang selalu mereka agungkan. Mereka menganggap segala yang mereka peroleh ketika memperebutkan gunungan-gunungan yang disajikanpada saat Garebeg Maulud atau kepingan-kepingan uang yang disebarkan dalam upacara Udhik-udhik bisa digunakan sebagai semacam penolak bala atau penarik rizki (semacam azimat). Sebagaimana wawancara kami dengan Ibu Seno, salah seorang pengunjung acara Garebeg Maulud tanggal 20 Maret 2008 tersebut. “Angsal nôpô mawôn niku mangké terus dibungkus kaliyan kaén putéh tèrus digantung wôntèn lawang ngajèng, utôwô digantung wôntèn pundhi mawôn wônten jèroné omah, supadôs sagèt nolak bala’ utôwô narék rèjèki”, yang kurang lebih artinya: “apapun yang didapat –dari gunungan tersebut- kemudian dibungkus dengan kain putih, lalu digantungkan di pintu depan rumah, agar bisa menolak bala atau menarik rizki”.

Sungguh ironis memang, di tengah-tengah proses modernisasi kota Yogyakarta, yang sedang dilanda arus globalisasi, masih ada sekelompok masyarakat yang tetap memelihara kepercayaan terhadap hal-hal mistis seperti di atas. Jika direnungkan lebih dalam, hal tersebut mungkin disebabkan karena generasi-generasi yang jauh sebelum mereka telah mewariskan nilai-nilai tersebut secara turun-temurun, yang telah begitu dalam memasuki hati, pikiran dan jiwa mereka. Dimana sejak lahir, mereka telah hidup di tengah-tengah masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai tersebut.

Terlepas dari itu semua, mereka tetaplah merupakan unsur penting dalam tradisi Sekaten dan Garebeg Maulud. Tanpa mereka kedua tradisi ini akan kehilangan salah satu pendukung utamanya, yang bisa jadi, hal itu akan menyebabkan keduanya mengalami disintegrasi dan mati. Oleh karenanya, sebagaimana disebutkan di atas, usaha pelestarian dan pengembangan terhadap warisan budaya ini sangatlah perlu digalakkan. Sebagai wujud apresiasi terhadap warisan budaya lokal yang bisa menjadi ciri pengenal bagi masyarakat pendukungnya.

PENUTUP

Sekaten adalah sebuah tradisi masyarakat, yang tentunya memiliki makna khusus bagi masyarakat di mana tradisi ini hidup dan berkembang. Dan makna-makna tersebut bisa jadi bermacam-macam tergantung bagaiman masyarakat tersebut memaknainya. Akan tetapi yang menjadi poin utama dari tradisi ini adalah kemampuannya dalam membangun dan memelihara solidaritas kelmpok serta menumbuhkan kesetiakawanan bagi setiap komponennya sebagai ciri khas kelompok. Bisa dikatakan, karena nilainya yang begitu besar itulah, yang kemudian menarik hati para wisatawan untuk hanya sekedar melihat atau bahkan mempelajari kedua tradisi tersebut. Yang pada akhirnya menjadikan keduanya sebagai salah satu objek pariwisata unggulan di Yogyakarta. Dan memberikan pemasukan devisa yang cukup besar bagi Negara, khususnya bagi Yogyakarta sendiri. Yang mana imbasnya adalah semakin majunya pembangunan di Yogyakarta dan semakin nyatanya usaha pemberdayaan masyarakatnya. Pemberdayaan dalam arti meningkatnya mutu hidup dan taraf hidup bagi masyarakat tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Murniatmo, Gatut. Dkk. 1993/1994. Dampak Pengembangan Pariwisata terhadap Kehidupan Sosial Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta. [Yogyakarta];
Departamen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Penelitian, Pengkajian dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya.
Sujarno. Dkk. 2003. Seni Pertunjukan Tradisional: Nilai, Fungsi dan Tantangannya. Yogyakarta; Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata
Tololi, Nani. Dkk. 2003. Dialog Budaya, Wahana Pelestarian dan Pengembangan Kebudayaan Bangsa. Jakarta; Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata, Deputi Pelestarian dan Pengembangan Budaya, Direktorat Tradisi dan Kepercayaan, Proyek Pelestarian dan Pengembangan Tradisi dan Kepercayaan.
Zamora, Alcala. Dkk. 2003. Dialog Budaya, Wahana Pelestarian dan
Pengembangan Kebudayaan Bangsa. Jakarta; Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata, Deputi Pelestarian dan Pengembangan Budaya, Direktorat Tradisi dan Kepercayaan, Proyek Pelestarian dan Pengembangan Tradisi dan Kepercayaan.

DAFTAR NARASUMBER
1.

  • NAMA : Bpk. Kiyoso Kanowo
  • PEKERJAAN : Abdi Dhalem
  • USIA : 37 tahun
  • ALAMAT : Jl. I Burosumo, No. 45, Yogyakarta.
  • PENDIDIKAN : SMA
  • KETERANGAN : salah satu abdi dhalem di Keraton Yogyakarta.

2.

  • NAMA : Ibu Seno
  • PEKERJAAN : Ibu Rumah tangga
  • USIA : 60 tahun
  • ALAMAT : Condong catur, Sleman, Yogyakarta.
  • PENDIDIKAN : ---
  • KETERANGAN : Salah Satu Pengunjung Acara Garebeg Maulud, tanggal 20 Maret 2008, di Keraton Yogyakarta.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar